
Chanelmuslim.com – Pada bulan Desember ini, masyarakat Indonesia nampaknya akan mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi rojiun terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. Pasalnya, pemerintah dan DPR akhirnya sepakat memasukkan RUU KPK sebagai agenda prioritas yang harus tuntas di 2015 ini.
Kesimpulan ini terlihat dari kesepakatan antara DPR dan pemerintah yang diwakili menkumham, Yasonna Laoly di Gedung DPR, Jumat 27/11/2015. Rapat kesepakatan ini dipimpin oleh wakil ketua Baleg Firman Soebagyo dan dihadiri 9 fraksi.
Dari kesepakatan ini, DPR akan mengebut pembahasan RUU KPK yang sudah harus rampung sebelum tanggal 18 Desember 2015, berkenaan dengan masa reses DPR. Seusai rapat, Yasonna sempat berpantun, “Ikan sepat ikan gabus, disimpan dalam kulkas. Makin cepat makin bagus, dibahas berkualitas.”
Penundaan yang basa basi
Masih segar dalam ingatan publik bagaimana pemerintah dan DPR saling lempar tanggung jawab soal siapa yang memulai RUU KPK. Pada awal Oktober lalu, tiba-tiba muncul desakan dari DPR yang dimotori fraksi PDIP untuk merevisi Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK.
Desakan DPR ini muncul menyusul pernyataan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri yang menghendaki agar KPK segera dibubarkan. Menurutnya, KPK sudah melewati kewenangannya sebagai lembaga ad hoc.
“Komisi yang sifatnya ad hoc ini harus diselesaikan, harus dibubarkan!” ujar Mega saat berpidato pada Seminar Nasional Kebangsaan dalam rangka Hari Konstitusi di Kompleks Parlemen, Senayan, 18/8/2015.
Namun, baik pernyataan Mega maupun langkah fraksi PDIP yang ingin merevisi UU KPK mendapat perlawanan dari publik. Presiden Jokowi pun berada pada posisi yang tidak jelas. Saling lempar pun terjadi antara pemerintah dan DPR soal siapa yang menggagas adanya pembahasan RUU KPK di DPR.
Pada RUU tersebut beberapa perubahan terhadap KPK begitu memprihatinkan. Antara lain, batas waktu keberadaan KPK 12 tahun, penanganan kasus minimal 50 milyar rupiah, kewenangan KPK mengeluarkan SP3, penyadapan seizin Ketua Pengadilan Negeri, adanya Dewan Kehormatan KPK, dikebirinya kewenangan penuntutan, dan KPK yang nantinya hanya sebagai komisi pencegahan korupsi.
Di tengah ketidakjelasan tersebut, pada pertengahan Oktober lalu, Pimpinan DPR bertemu dengan Presiden yang menghasilkan kesepakatan penundaan soal RUU KPK. Dan kini, publik akhirnya paham bahwa penundaan tersebut hanya bertahan selama satu setengah bulan.
Posisi Jokowi yang tidak jelas
Meski beberapa menteri dan wapres mulai berani terang-terangan perlunya RUU KPK, Presden Jokowi hingga kini belum menunjukkan ketegasannya. Apakah pada posisi mendukung atau menolak.
Inilah keunikan pemerintahan saat ini, kalau tidak mau disebut kesemrawutan. Bahkan lebih parah lagi, bukan sekadar masalah persoalan salah urus tata kelola negara. Bahkan, publik seperti mendapat bayang-bayang adanya presiden di atas presiden.
Setidaknya sudah tiga kejadian tentang KPK yang memaksa Jokowi tampil menjadi penyelamat. Pertama, gebrakan Jokowi menempatkan KPK sebagai lembaga yang mengaudit calon menteri kabinetnya. Dari gebrakan ini, konon, ada sejumlah calon menteri yang gagal lolos. Antara lain, Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar. Tapi ini disangkal pihak pemerintah.
Kedua, Jokowi seperti pasang badan saat terjadinya konflik KPK Polri dalam kasus calon Kapolri. Gonjang-ganjing pun berujung dikeluarkannya Perppu soal pimpinan KPK baru.
Dan ketiga, munculnya isu pelemahan KPK melalui RUU KPK yang akan dibahas DPR dan Pemerintah pada awal Oktober lalu. Solusi pun muncul dengan ditundanya pembahasan RUU KPK sampai waktu yang tidak ditentukan.
Dari ketiga poin ini, sulit memposisikan Jokowi pada pihak yang mendukung revisi UU KPK. Lantas, kalau bukan Jokowi, kenapa pemerintah baik diwakili Menkopolhukam dan Kemenkumham jalan terus soal revisi?
Saling sandera pemerintah DPR
Pada akhir Nopember ini, ada tiga hal yang bersinggungan antara pemerintah dan DPR. Yaitu, adanya usulan revisi RUU KPK, RUU Tax Amnesty atau pengampunan pajak, dan seleksi Capim KPK oleh DPR yang telah diajukan pemerintah.
Berbagai pihak menilai adanya upaya saling sandera pemerintah dan DPR dari tiga singgungan di atas. Dan saling sandera tersebut berujung pada barter. Seolah-olah, pemerintah membawa dua order yaitu RUU KPK dan seleksi Capim KPK, sementara DPR mendapat porsi RUU Tax Amnesty yang menguntungkan pihak pengusaha besar yang terbelit kasus pajak.
Dugaan ini muncul karena adanya ketidakwajaran pada tiga singgungan itu. Menurut ICW, munculnya RUU KPK yang bersamaan dengan RUU Tax Amnesty sangat tidak masuk akal.
Menurut Divisi Hukum dan Peradilan ICW, Emerson Yuntho, revisi UU KPK memiliki kaitan dengan proses seleksi calon pimpinan KPK. Sementara, revisi UU Pengampunan Pajak menjadi persoalan yang lain.
Penilaian ICW, orang akan menganggap bahwa semua itu akan menguntungkan pihak koruptor dan para pengemplang pajak.
Akhirnya, jika memang tanggal 18 Desember nanti, RUU KPK jadi disahkan dan seperti yang diisukan selama ini. Bangsa Indonesia hanya akan gigit jari soal pemberantasan korupsi yang kian menggurita di negeri ini. Kita hanya akan mengucapkan, Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun. (Mh/detik/tempo)