oleh: Miftahul Jannah, M Psi., (Psikolog)
ChanelMuslim.com–Ada perbedaan kekuatan antara pelaku dan victim. Ada keinginan pada diri pelaku untuk menghadirkan perasaan terancam, takut, atau rasa sakit pada victim. Perilaku “menyakiti” dilakukan berulang kali. Tiga hal di atas merupakan ciri unik bullying.
Karakter khas lainnya adalah umumnya pelaku bullying pernah mengalami atau melihat bullying.
Ketika kita disibukkan tentang bullying yang terjadi di sekolah, lingkungan, dan sosial media, mari sejenak kita melongok ke dalam rumah kita. Jangan-jangan, bullying juga terjadi di dalamnya?
Berapa banyak orang tua yang jurus dahsyatnya dalam mengasuh anak adalah ancaman. Biar mau makan? Diancam. Biar mau mandi? Diancam. Biar mau tidur siang? Diancam. Biar mau belajar? Diancam. Biar mau sholat? Diancam. Biar mau ngaji? Diancam.
Kenapa orang tua mengancam? Mereka merasa punya power untuk melakukan itu. Padahal jika memang intensinya agar anak takut/terancam sehingga patuh, sejatinya mereka adalah orang tua yang bully.
Contoh 1:
Seorang ibu mencubit anaknya karena enggan belajar. Anaknya menangis. Ibu merasa perlakuan ini wajar, karena ketika kecil dulu dia pun sering dicubit ibunya jika malas belajar.
Contoh 2:
Pak Jarot adalah tetangga yang berbadan besar dan berkumis tebal. Suaranya juga menggelegar. Meskipun berhati baik, penampilan Pak Jarot membuat anak kecil takut. Jika anak lambat-lambat makan dan ibu mengatakan, “Ayo cepat makannya, nanti Ibu panggilin Pak Jarot, lho…” maka anak segera mengunyah makanannya dengan cepat.
Contoh 3:
Boleh buat contoh masing-masing, yah… pengalaman sendiri juga boleh…
Para orang tua tentu sangat mengharapkan anak-anak yang patuh. Namun untuk mendapatkan kepatuhan anak, tanpa sadar orang tua telah melakukan banyak sekali tindak kekerasan kepada anak. Yang menyakiti mental mereka, bahkan mungkin fisik mereka.
Sadarkah kita bahwa jika memang kita telah melakukannya, sejatinya kita tengah mencetak calon-calon bully dari rumah kita?
Menyelesaikan dengan adil kasus besar saat ini adalah satu hal yang harus kita perjuangkan. Di sisi lain, melongok ke dalam diri dan rumah kita sendiri pun adalah hal yang tak kalah pentingnya.
Apakah rumah kita telah bebas bullying?
Saya selalu ingat pernyataan almarhumah Prof. Amitya Kumara di salah satu kelas beliau yang saya ikuti, “Dulu bullying hanya terjadi di tingkat perguruan tinggi. Kemudian turun ke SMA (zaman rame tawuran). Kemudian turun ke jenjang SMP. Lalu SD. Bahkan sekarang anak-anak TK pun sudah berpotensi menjadi pelaku dan mengalami bullying.”
Waktu itu beliau menegaskan bahwa beliau nggak mau jika bullying (dengan ciri-cirinya) sampai terjadi pada anak-anak usia TK. Jangan sampai. Cukup sampai potensi sajalah. Jangan sampai terdiagnosis bullying.
Tapi entahlah faktanya hari ini. Saat ini pun saya sedang berpikir keras memberi saran terbaik untuk kasus bullying anak usia TK yang dikonsulkan ke saya.
Pernyataan itu Prof. Amitya sampaikan sekitar 7 tahun yang lalu. Beliau sangat concern dengan tema school well-being. Semoga perjuangan beliau senantiasa ada yang melanjutkan.
Selain sekolah yang sejahtera dan menyejahterakan, saya pribadi menilai peran paling mendasar yang bisa dilakukan masyarakat untuk mengatasi bullying salah satunya adalah pendidikan adab dan akhlak anak dari tiap-tiap keluarga.
Dalam Islam, usia krusial pendidikan adab dan akhlak adalah pada 2-7 tahun. Modelnya adalah ayah dan ibu.
Tidak mungkin anak terdidik adab dan akhlaknya dari orang tua yang tidak beradab dan berakhlak. Kalau orang tua mau punya anak yang beradab dan berakhlak yang baik, orang tua harus beradab dan berakhlak yang baik dulu kepada anak. Itulah yang dinasihatkan Sayyidina Umar bin Khattab kepada seorang ayah (baca di buku “Ibunda Para Ulama”).
Setiap kita berangkat dari rumah, dari sebuah keluarga. Jika setiap keluarga menyumbang anak-anak yang terdidik adab dan akhlaknya, maka kita telah menyumbang kebaikan untuk masyarakat, bukan?
Perilaku bullying kini derajatnya telah naik sampai pada perilaku kriminal. Tambah sedih lagi pelakunya adalah calon-calon ibu, calon-calon pendidik, yang bahkan tidak menunjukkan rasa menyesal atas perilaku zalim mereka.
Ayah-Ibu, mari kita berkaca lagi dengan adab dan akhlak kita sendiri. Evaluasi lagi bagaimana kita menyematkan adab dan akhlak karimah kepada anak-anak kita…
Ayolah, setiap kita berazam untuk menyumbang generasi berakhlak dari rumah kita.[ind].
Sumber:
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10217037391021185&id=1059933268
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10217037391021185&id=1059933268