Oleh: Dr. H. M. Ma’rifat Iman, M.A. (Wakil Ketua Majlis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Anggota KF MUI)
Kesadaran masyarakat akan gaya hidup halal, Alhamdulillah, secara bertahap tampak terus meningkat waktu ke waktu, sangat prospektif. Namun tentu dakwah halal itu harus terus dilakukan, agar dapat lebih ditingkatkan lagi secara integrative dan komprehensif. Terutama dengan cakupan slogan yang sangat popular, Halal is My Life.
Slogan atau moto itu sendiri, sejatinya paling tidak memiliki dua kandungan utama. Pertama adalah komitmen untuk memproduksi sesuatu, mendistribusikannya berikut mengkonsumsinya secara halal. Baik dari sisi produk itu sendiri secara substansi maupun dari sisi metode atau cara memproduksinya.
Kedua, komitmen yang lebih lanjut untuk menjalankan semua tuntunan agama yang kita yakini. Artinya, dalam hal konsumsi, harus makanan dan minuman yang halal, seperti yang telah dijelaskan. Begitu pula berpakaian, misalnya lagi, tentu harus yang halal, yakni sesuai dengan fungsi pakaian untuk menutup aurat sebagaimana yang diperintahkan dalam Islam. Dalam bermuamalah, mengikuti kaidah syariah, dll. Dalam pengertian yang luas, menjalani kehidupan secara keseluruhan harus dengan cara yang halal, secara Kaaffah atau secara totalitas, sesuai dengan tuntunan agama.
Memang, dalam lingkup LPPOM MUI, sesuai dengan domainnya, cakupan halal sebatas dalam aspek makanan atau pangan, minuman, obat-obatan dan kosmetika. Tapi patut dipahami, secara umum, halal itu bukan hanya dalam aspek makanan, pakaian, dan seterusnya, dalam pengertian yang terbatas. Melainkan komitmen untuk menjalani seluruh aspek kehidupan sesuai dengan kaidah syariah.
Bahkan dalam perkembangannya, kini telah pula mengemuka aspek-aspek wisata halal, hijab syar’i, dll. Termasuk juga barang-barang gunaan, yang telah pula diadopsi dan ditetapkan keharusan halalnya di dalam Undang-undang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Maka dalam lingkup MUI lagi, misalnya, selain LPPOM dengan Komisi Fatwa MUI, ada pula Dewan Syariah Nasional MUI yang membahas dan menetapkan fatwa bidang keuangan dan ekonomi syariah, atau aspek Muamalah secara umum.
Oleh karena itu, dengan perjalanan kiprah LPPOM MUI yang hampir tiga dekade kini, tentu harus dilakukan upaya-upaya yang berkesinambungan untuk mengintegrasikan aspek konsumsi halal ini secara komprehensif dengan aspek muamalah dalam pengertian yang luas, sesuai dengan kaidah syariah.
Komitmen agar hidup halal, mengamalkan seluruh tuntunan agama secara Kaaffah secara komprehensif ini telah diperintahkan Allah dengan tegas dalam ayat yang bermakna: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara Kaaffah atau keseluruhan (totalitas), dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (Q.S. Al-Baqoroh, 2: 208). Maksudnya ialah kita harus mengamalkan tuntunan Islam itu keseluruhan, secara totalitas. Jangan sebagian-sebagian. Sebagian perintah Allah diamalkan, namun sebagian yang lain ditinggalkan atau malah dilanggar. Bila berbuat demikian, maka dapat disamakan dengan mengikuti jejak langkah setan, sebagaimana disebutkan di bagian akhir ayat tersebut.
Dalam sejarahnya, setan itu menaati sebagian perintah Allah, tetapi mengingkari atau bahkan menolak sebagian yang lain. Yakni ketika Allah memerintahkannya untuk bersujud kepada Nabi Adam, setan menolaknya. Bahkan setan merasa dan menyatakan dirinya lebih baik dari Adam, karena ia diciptakan dari api yang dianggapnya lebih mulia; sedangkan Adam dari tanah yang dianggapnya lebih rendah.
Perhatikanlah ayat Al-Quran yang menyebutkan pembangkangan iblis atau setan ini: “Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Menjawab iblis “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (Q.S. Al-A’raaf, 7: 12). [fir]