BERAKHLAKLAH kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita tidak asing dengan hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang berbunyi “Innama Bu’itstu li Utammima Makarim al-Akhlak” yang artinya “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Abu Hurairah.
Hadits ini sering dikutip oleh penceramah maupun pejabat sambil kemudian menjelaskan tentang akhlak mulia seperti sopan santun, sabar, berkata baik dan lemah lembut, tidak menyakiti orang dan sebagainya.
Sedikit sekali yang mengaitkan hadits itu dengan akhlak yang paling utama dan paling mendasar yaitu akhlak kepada Allah.
Apa itu akhlak kepada Allah?
Akhlak kepada Allah adalah sikap dan perbuatan yang seharusnya dilakukan manusia sebagai makhluk kepada Allah, Tuhan Yang menciptakannya, Yang memeliharanya dan Yang berhak disembahnya.
Saat Muhammad diangkat menjadi nabi dan Rasul, kondisi bangsa Arab dan dunia lainnya seperti Romawi, Persia, India dan China, dalam perspektif Islam, sedang dalam kondisi mengalami kerusakan akhlak (utama).
Yaitu tidak mengenal Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Sebagaimana dijelaskan dalam al Quran dalam surat Yusuf ayat 106:
Follow Official WhatsApp Channel chanelmuslim.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
“Dan kebanyakan mereka tidak beriman kepada Allah, bahkan mereka mempersekutukan-Nya.”
Bangsa Arab, Mekah khususnya, masih mengenal Allah tetapi dengan pengenalan yang salah.
Mereka menyandingkan tuhan tuhan lain selain Allah sebagai sekutu atau tandingan Nya.
Mereka memberi nama anaknya Abdullah (hamba Allah) tapi juga memberikan nama yang lain dengan Abdul Uzza (hambanya berhala Uzza).
“Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka akan menjawab, “Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (Az Zukhruf: 9).
Ayat selanjutnya menjelaskan tentang bagaimana mana Allah menciptakan segala sesuatunya sampai dengan bagaimana Allah memelihara manusia agar bisa hidup dan seterusnya.
Tetapi mereka tetap durhaka kepada Allah, dengan menyekutukan-Nya.
Surat Az Zukhruf ayat 15 menjelaskan:
Berakhlaklah kepada Allah
“Dan mereka menjadikan sebahagian dari hamba-hamba-Nya sebagai bahagian (sekutu) daripada-Nya. Sesungguhnya manusia itu benar-benar pengingkar yang nyata (terhadap rahmat Allah).”
Sementara itu dibelahan bumi yang lain ada yang menyembah api, matahari dan dewa dewi yang mereka ciptakan sendiri dengan tupoksi yang berbeda berbeda-beda.
Ada juga yang mengatakan bahwa Allah punya anak.
Padahal nabi terakhir sebelum nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yaiti Nabi Isa ‘Alaihi Salam dalam perspektif Islam tidak pernah mengajarkan hal tersebut.
Nabi Isa ‘Alaihi Salam dengan tegas menyatakan konsep tauhid, sebagaimana terbaca dalam Al-Qur’an, “Sesungguhnya Allah itu Tuhanku (Isa al masih) dan Tuhanmu, karena itu sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus.” (Ali Imran: 51).
Konsep Trinitas mulai diartikulasikan pada konsili Nicea tahun 325 M dan konsili Konstantinopel tahun 381 M.
Namun, penyimpangan ajaran tauhid dengan ketuhanan yang bernuansa Trinitas sudah mulai dicetuskan oleh Teofilus dari Antiokia pada tahun 170-an.
Baca juga: Membaca dan Menulis Dengan Nurani Dapat Memperbaiki Akhlak Manusia
Maka ketika Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diangkat menjadi nabi pada tahun 612 M tugas utamanya adalah memperbaiki akhlak dasar manusia.
Yaitu akhlak kepada Allah, Yang menciptakan dan memelihara manusia agar bersikap sesuai dengan apa yang seharusnya kepada Allah Yang Maha Esa dan Maha Pencipta.
Agar manusia beriman kepada Allah sesuai dengan kedudukan dan sifat-sifat Allah yang Allah nisbatkan kepada Dirinya.
Bila ada seorang anak tidak mengakui orang tua yang melahirkannya sebagai orang tuanya atau tidak berbakti kepada orang tuanya maka anak itu disebut sebagai anak yang berakhlak buruk bahkan dicap sebagai anak durhaka.
Durhaka menurut KBBI adalah ingkar atau mengingkari.
Bila mengingkari (durhaka) orang tua adalah akhlah tercela maka apatah lagi bila mengingkari Allah
Yang Maha Esa yang Mencipta-kannya?
Tentu merupakan akhlak yang sangat tercela bukan?
Adakah orang tua yang tidak marah ketika anaknya durhaka?
Maka Allah sangat murka kepada mahluk Nya yang durhaka dan bahkan memfitnah Dirinya sebagai mempunyai sekutu dan atau mempunyai anak.
Hal ini ditegaskan dalam surat Maryam:
تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا
“Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mengklaim Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidaklah layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mempunyai anak.” (QS. Maryam: 90-92).
Surat al ikhlas, “Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. Dia tiada ber-anak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.”
Kandungan dalam surat al Ikhlas adalah nilai nilai akhlak utama dan paling dasar, untuk apa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diutus kepada manusia.
Karena itu ‘hanyalah’ akhlak cabang yang akan berubah secara proporsional sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku secara lokal.[Sdz]