JANGAN melihat persahabatan dari sisi luarnya. Boleh jadi, fisiknya buruk tapi hatinya bercahaya.
Ada seorang sahabat Nabi bernama Zahir bin Haram radhiyallahu ‘anhu. Mungkin, tak banyak orang yang mengenalnya.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa Zahir bin Haram merupakan sahabat Nabi dari suku Badui, sebuah suku yang tinggal di pedalaman.
Imam Ahmad rahimahullah juga meriwayatkan keadaan Zahir dengan lebih detil. Orangnya pendek, jelek, dan miskin. Pekerjaannya berdagang barang-barang sangat sederhana.
Namun hubungan saling cintanya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tak pernah padam. Ia begitu mencintai Nabi, begitu Nabi terhadap Zahir.
Meski sangat miskin, Zahir selalu memberikan hadiah kepada Nabi. Walaupun barang yang dihadiahkan tergolong biasa untuk orang kebanyakan waktu itu. Misalnya, berupa minyak hasil olahan tangan Zahir.
Kalau keduanya bertemu, orang akan melihatnya seperti dua saudara yang tidak lagi ada jarak. Zahir akan langsung memeluk tubuh Nabi, begitu Nabi merangkulnya dengan erat.
Suatu hari, Zahir sedang menggelar dagangan di Pasar Madinah. Dari arah belakangnya, Nabi berjalan mengendap-endap agar tak diketahui Zahir.
Tiba-tiba Nabi menutup kedua mata Zahir dengan tangannya dari arah belakang. Zahir pun berujar, “Siapa ini? Siapa ya?”
Seseorang di dekat Zahir berucap, “Dia Rasulullah!” Zahir pun langsung melepas pegangan tangan Rasulullah di matanya sambil berbalik ke arah Rasul.
Ia pun tersenyum, seperti halnya Nabi juga tersenyum. Zahir langsung memeluk Nabi dengan begitu erat.
Tiba-tiba Nabi berteriak-teriak ke arah orang di sekitar, “Ayo, siapa yang mau beli Zahir untuk budak?” Begitulah candaan Nabi kepada Zahir yang disaksikan banyak orang.
“Ya Rasulullah, tak seorang pun yang akan membeliku. Aku tidak punya nilai apa-apa,” ucap Zahir sambil tak ingin melepas pelukannya.
“Wahai Zahir, ketahuilah bahwa nilaimu di sisi Allah sangat istimewa!” ucap Rasulullah begitu akrab.
**
Nyaris, dari sudut pandang fisik, tak ada yang menarik dari Zahir bin Haram. Orangnya jelek, pendek, miskin, tinggal di pedalaman Arab, dan daya nalarnya yang rendah.
Namun sosok mulia, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, begitu akrab dengan Zahir, seolah dua saudara kandung yang sejak kecil sudah saling sayang.
Cobalah teladani apa yang dilakukan Nabi. Berteman akrablah dengan siapa pun, meskipun berasal dari kalangan ‘rendahan’. Karena boleh jadi, di sisi Allah, derajatnya begitu tinggi dan mulia. [Mh]