ILMU itu segalanya. Tak ada iman tanpa ilmu, dan tak bernilai ibadah jika tanpa ilmu.
Alkisah, ada seorang ulama yang rumahnya didatangi perampok. Ulama dan keluarganya dibuat tak berdaya.
Semua barang berharga diambil. Sayangnya, di rumah itu tak begitu banyak harta. Tak ada uang kecuali yang di dompet. Tak ada perhiasan kecuali yang dipakai, itu pun bernilai kecil.
Perampok bingung mau membawa apa lagi. Sementara, mereka harus segera pergi meninggalkan korbannya.
Mereka pun menoleh ke arah lemari perpustakaan sang ulama. “Wow, kitab-kitab ini begitu bagus!” ucap salah seorang dari mereka. “Harganya mungkin mahal!” sergah yang lain.
Sang ulama was-was. “Mohon jangan ambil kitab-kitab itu,” suara sang ulama memohon.
“Kenapa tidak boleh?” tanya pemimpin perampok.
“Bukan soal harganya, tapi itu sumber pengetahuanku,” jelas sang ulama.
“Jadi, keulamaanmu ada di kitab-kitab ini? Apa jadinya jika kitab-kitab ini terbakar, rusak, hilang, atau lainnya. Apa itu berarti kau tak lagi bisa menjadi ulama?” ungkap seorang perampok.
“Rasanya yang aku tahu kalau ilmu itu ada di hati, bukan di kitab!” ucap perampok yang lain.
Sang ulama tertegun. Ia begitu tersentak dengan apa yang diucapkan para perampok. Ia mulai menyadari kekeliruannya selama.
“Memang benar, ilmu itu disimpan di hati. Bukan di kitab,” suara ulama dalam hati, menyadari kekeliruannya selama ini.
**
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, para sahabat, dan ulama salaf; meneladani kita tentang ‘menyimpan’ ilmu yang benar. Mereka menyimpannya di hati.
Para generasi mulia itu bukan lagi ‘sekadar’ menghafal Al-Qur’an. Melainkan juga ribuan hadis. Bahkan dalam jumlah fantastis di angka satu juta hadis.
Merekalah yang akhirnya menghasilkan kitab-kitab. Bukan sebaliknya, kitab-kitab yang menjadi rujukan di saat mereka perlukan.
Ilmu itu cahaya dari Allah subhanahu wata’ala. Dan cahaya akan terang benderang di hati. [Mh]