PENGUASA juga perlu didakwahi. Tapi hati-hati, daya cengkeramnya bisa merusak hati.
Abu Abdullah Malik bin Anas rahimahullah merupakan ulama yang paling banyak bergaul dengan penguasa. Ulama yang akrab disebut Imam Malik ini bergaul dengan 13 Khalifah yang berbeda.
Ke-13 Khalifah itu berasal dari 8 Dinasti Umayyah dan 5 Abasiyah. Salah satu yang terkenal dari mereka adalah Khalifah Harun Ar-Rasyid.
Harun Ar-Rasyid merupakan putera dari Khalifah Al-Mahdi yang sebelumnya mengaji dengan Imam Malik. Al-Mahdi pun mengutus anaknya Harun Ar-Rasyid kecil mengaji ke Imam Malik. Ketika Harun Ar-Rasyid menjadi Khalifah menggantikan ayahnya, ia pun mengutus putera-puteranya mengaji ke Imam Malik.
Meski dekat dengan para penguasa, Imam Malik tidak luntur. Satu hal yang sangat terkenal dari Imam Malik adalah ucapannya terhadap penguasa yang memintanya untuk mengajar ngaji di istana: al-ilmu yu’ta walaa ya’ti. Ilmu itu yang didatangi, bukan mendatangi.
Padahal, khalifah-khalifah yang berkuasa saat itu menguasai lebih dari separuh pemerintahan dunia saat ini.
Namun begitu, hubungan Imam Malik dengan para penguasa tidak selamanya berjalan mulus. Karena ketegasannya, Imam Malik memfatwakan hukum apa adanya meskipun terhadap penguasa. Tidak mencla-mencle atau berubah-ubah.
Misalnya ketika Khalifah Harun Ar-Rasyid melalaikan sumpahnya. Para ulama umumnya menyampaikan bahwa kafaratnya memberi makan orang miskin dan membebaskan budak seperti urutan dalam Surah Al-Maidah ayat 89.
Tapi, Imam Malik memfatwakan berbeda. Kafaratnya, menurut Imam Malik, adalah berpuasa selama tiga hari berturut-turut.
Khalifah dan para ulama umumnya geger. Hal ini karena kafarat berpuasa tiga hari merupakan urutan ketiga yang jika dua hal sebelumnya tidak mampu dilaksanakan.
Ketika dipanggil pihak istana, Imam Malik menjelaskan. Kafarat memberi makan orang miskin dan memerdekakan budak menggunakan uang negara yang merupakan uang umat. Padahal kafaratnya untuk pelanggaran pribadi khalifah. Dan yang paling benar untuk pelanggaran pribadi adalah kafarat puasa tiga hari.
Bahkan Imam Malik pernah dipenjara oleh istana karena fatwanya. Imam Malik memfatwakan bahwa talak karena terpaksa tidak perlu dipatuhi.
Sebenarnya, fatwa ini hanya fikih pernikahan biasa. Tapi, yang tersinggung seorang khalifah yang sedang gelisah dengan kekuasaannya.
Pasalnya, ia memaksa banyak tokoh untuk membaiatnya sebagai khalifah yang sah. Tentu saja, para tokoh dan rakyat tidak berani menolak.
Tapi dengan fatwa Imam Malik tentang hukum talak atau perceraian yang terpaksa, maka umat menganalogikan dengan baiat terhadap khalifah karena terpaksa. Dan hukumnya tidak perlu dipatuhi.
**
Ulama itu pewaris para Nabi. Kepentingan ulama terhadap penguasa semata-mata karena sebagai dai yang ‘meluruskan’ siapa pun.
Sebagai dai, ia juga menjadi guru, pembimbing, teman, sahabat, dan penegur jika ada penguasa yang melenceng. Bukan sebagai ‘stempel’ yang menghalalkan apa pun yang diinginkan penguasa. [Mh]