KEIMANAN mengikat manusia dalam satu persaudaraan. Ikatannya: saling mencintai karena Allah.
Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu mungkin dianggap anak sekarang sebagai nekat. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menanyakan siapa yang siap melayani tamunya malam itu, sahabat yang miskin itu langsung menyanggupi.
Tingkat miskinnya juga cukup prihatin. Bayangkan, malam itu di rumah tak ada makanan lain kecuali jatah untuk anak-anak. Kalau ia melayani tamu, berarti anak-anak tak dapat jatah makan seperti ia dan istrinya.
Masya Allah, itulah yang mungkin pantas disebut anak-anak sekarang sebagai ‘nekat’. Tapi dalam Islam, itu bukan ‘nekat’. Melainkan apa yang disebut sebagai itsar atau mengutamakan saudara seiman daripada diri sendiri.
Tamu itu itu pun mengikuti Abu Thalhah untuk mendapatkan pelayanan makan di rumah. Tentu, sang tamu tak tahu sama sekali keadaan persediaan makanan di rumah tuan rumahnya.
Agar tak diketahui sang tamu, Abu Thalhah sudah mengarahkan dua hal ke istrinya: menidurkan anak-anak mereka supaya ‘rela’ tak dapat makan. Kedua, saat akan makan, lampu dimatikan agar tak terlihat kalau hanya si tamu saja yang sebenarnya makan.
Skenario berjalan mulus. Tamu merasa kenyang. Ia berterima kasih kepada tuan rumah telah melayaninya dengan baik. Dan, pembuktian cinta karena Allah tertunaikan sempurna.
Keesokan harinya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyalami Abu Thalhah. Nabi mengabarkan bahwa Allah memuji apa yang dilakukan Abu Thalhah. Dan sebuah riwayat menyebut hal ini menjadi sebab turunnya ayat Al-Qur’an.
Allah subhanahu wata’ala berfirman, “….mereka (Anshar) mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin), dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekali pun mereka dalam kesusahan.
“Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 9)
**
Membantu saudara seiman dengan kemampuan yang dimiliki merupakan kebaikan. Dan, membantu dengan melampaui kemampuan yang dimiliki merupakan hal luar biasa. Itulah yang disebut Al-Qur’an sebagai ‘itsar’. [Mh]