ADARA Relief International gelar webinar mengenai perjanjian Oslo pada Ahad malam (15/09/2024).
Webinar bertajuk “31 Tahun Perjanjian Oslo: Bagaimana Dampak dan Masa Depan Palestina” ini mengundang dua narasumber, yaitu Shofwan Al-Banna Choiruzzad (Associate Professor dan Dosen HI Fisip UI) dan Maryam Rachmayani (Direktur Utama Adara dan Aktivis Kemanusiaan).
Perjanjian Oslo pertama, yang dikenal sebagai Oslo I, merupakan perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 13 September 1993.
Perjanjian Oslo pertama mempertemukan Yitzhak Rabin, Perdana Menteri Israel kala itu, dengan Yasser Arafat, pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).
Mereka bertemu di halaman Gedung Putih di Washington untuk menandatangani kesepakatan yang diyakini dapat menjadi cikal bakal perdamaian di kawasan tersebut.
Perjanjian Oslo I berisi kesepakatan bahwa pihak Israel dan Palestina masing-masing harus mengakui kedaulatan satu sama lain untuk pertama kalinya.
Follow Official WhatsApp Channel chanelmuslim.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
Kedua belah pihak juga diharuskan berjanji untuk segera mengakhiri perseteruan yang telah berlangsung selama puluhan tahun lamanya.
Tak cukup dengan sekali perjanjian, pada September 1995 Perjanjian Oslo II ditandatangani.
Perjanjian kedua ini menjelaskan dengan lebih rinci mengenai struktur badan-badan yang seharusnya dibentuk dalam proses perdamaian.
Secara garis besar, Oslo adalah perjanjian yang “memaksa” Palestina untuk mengakui eksistensi Israel dan hidup secara berdampingan “dengan damai”.
Perjanjian ini adalah pembenaran untuk pembersihan etnis yang Israel lakukan terhadap desa-desa Palestina saat Nakba tahun 1948, yang kemudian dibungkus dengan ilusi “perdamaian” dan “hidup berdampingan”.
Adara Relief International Gelar Webinar 31 Tahun Perjanjian Oslo
“Apakah Palestina yang tidak ingin berdamai? Bukan. Mereka hanya ingin hak-hak dasar mereka sebagai manusia diakui. Israel yang tidak pernah serius berdamai. Proses perdamaian justru digunakan untuk melanggengkan dan memperluas okupasi. Lihat bagaimana Oslo memperketat kendali penjajahan dan menjadi dalil diskursif untuk melabel Gerakan perlawanan sebagai teroris. Sementara Israel terus memperluas pemukiman illegal,” jelas Shofwan pada malam itu.
“Israel berubah sikap dengan mau berunding atau mundur ketika menghadapi perlawanan. Namun perundingan itu pun kemudian digunakan untuk menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi Israel. Masalahnya, powernya asimetris sehingga Palestina mengalami dilema. Proses perdamaian tidak adil dan justru melanggengkan okupasi walaupun sudah banyak mengalah, tapi kalau melawan kekuatan material semakin timpang,” jelasnya lebih lanjut.
Perjanjian Oslo dibuat dengan klaim untuk mewujudkan penentuan nasib sendiri bangsa Palestina, dalam bentuk negara Palestina yang merdeka di samping “negara” Israel.
Baca juga: Palestina Batalkan Perjanjian Oslo 1995 dengan Israel
Atas dasar itu, Israel, yang dibentuk di tanah Palestina yang bersejarah yang mereka rampas melalui peristiwa Nakba 1948, diharuskan menerima klaim Palestina atas kedaulatan nasional.
Namun, klaim tersebut hanya akan terbatas pada sebagian kecil wilayah Palestina yang bersejarah, sedangkan sisanya diserahkan untuk kedaulatan Israel.
Dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut, ada beberapa aturan yang mau tidak mau harus dipatuhi oleh kedua belah pihak.
Pertama, Israel harus melakukan penarikan bertahap terhadap militernya dari wilayah Palestina yang direbut saat perang 6 hari pada tahun 1967.
Kedua, Israel harus melakukan pengalihan wewenang kepada pemerintahan Palestina, kecuali untuk masalah status akhir Al-Quds (Yerusalem) timur dan permukiman ilegal Israel, yang akan dinegosiasikan di kemudian hari.
Ketiga, wilayah-wilayah Palestina akan dibagi menjadi area A, B, dan C yang menunjukkan seberapa besar kendali Otoritas Palestina di masing-masing wilayah.
Perjanjian final dikatakan akan dicapai dalam waktu lima tahun, akan tetapi hingga saat ini masih belum juga terjadi.[Sdz]