MASIH banyak ditemukan orang-orang yang berilmu tanpa amal, dan beramal tanpa ilmu. Kedua golongan ini kadang kala dikuasai rasa ego untuk menggabungkan antara ilmu dan amal sehingga tampaklah bahwa ilmu dan amal tidak bisa berjalan bersamaan.
Orang yang memiliki pengetahuan mendalam tentang syariat Islam ibarat memahami arah jalan, tempat pemberhentian, rambu-rambu jalan, hingga rintangan serta hambatannya.
Namun jika ia tidak menaati ataupun melaksanakan apa yang diketahuinya itu dalam realita kehidupan ia akan hancur dan selalu diliputi ketakutan. Biasanya ini terjadi karena ia selalu mengharapkan ketenaran dan pengakuan.
Baca Juga: Adab Berilmu dalam Sunnah Sedirham Surga
Ilmu dan Amal Harus Jalan Secara Bersamaan
Yang dilakukannya hanya menemui orang-orang bodoh untuk memberi respon positif kepada dirinya yang berilmu. Kemauannya lemah untuk mengamalkan ilmunya, karena telah berbelok dari tujuan utama menuntut ilmu.
Sebaliknya, dikutip dari kitab Thariqul Hijratain, karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, golongan kedua yaitu orang yang memiliki kemampuan dan kemauan tinggi untuk beribadah dan beramal namun ia buta tentang syariat Islam. Ia tidak menyadari dan memahami perbedaan antara yang salah dan yang benar tentang akidah dan pengamalan (fiqih).
Ia juga tidak menyadari jika dirinya telah meyeleweng dari ajaran agama saat beramal, baik melalui lisan maupun perbuatan. Hal ini terjadi karena akalnya lemah dalam menampung syariat Islam yang lurus.
Menurut Ibnu Qayyim, karakter golongan kedua beribadah hanya dengan mengandalkan cita rasa, intuisi, emosional dan tradisi.
Hingga salah seorang dari mereka tidak mengetahui tujuan dari ibadah, tidak mengenal siapa yang disembahnya, serta bagaimana cara yang tepat dalam beramal. Mereka hanya mengikuti intuisi, emosi dan hawa nafsunya.
Orang-orang seperti ini tentu dengan mudah akan mendobrak aturan-aturan syariat karena hanya mengandalkan rasa yang ada di dalam batinnya. Akalnya tidak berfungsi dengan baik.
Maka seharusnya seseorang tidak mendikotomikan ilmu dan amal. Keduanya harus berjalan bersamaan dan menjadi kekuatan untuk istiqomah berada di jalan Allah yang benar.
Jika kedua hal ini telah menghujam di pikiran dan sanubari seseorang ia akan terus berharap mendapat rahmat Allah melalui cara-cara yang dibenarkan dan selalu waspada pada tiap penyelewengan yang menghadang sepanjang proses meraih ketaatan.
Walaupun begitu manusia akan terus berhadapan dengan rintangan sehingga tidak ada seorangpun yang mampu untuk melepaskan diri darinya. Oleh sebab itu meminta pertolongan kepada Allah akan memudahkan jalannya dalam melewati maupun menghadapi tiap godaan yang ada. Karena Allah adalah sebaik-baik penolong.
[Ln]