TANPA pasokan makanan, gas, listrik, dan air. Seperti itulah yang kini dialami warga Gaza, Palestina. Itu pun jika tidak lagi dihujani bom.
Sulit membayangkan apa yang dialami umat Islam di Gaza saat ini. Wilayah yang dihuni 2,5 juta jiwa itu kini harus melalui hidup tanpa suplai kebutuhan pokok.
Tak ada lagi suplai makanan, gas, listrik, dan air. Sulit rasanya membayangkan tinggal di sebuah wilayah yang terisolir tanpa ketersediaan bahan pokok.
Selama ini, penduduk Gaza membeli pasokan listrik, gas, BBM, dan air dari Israel. Sementara makanan dan lainnya mereka dapatkan dari transaksi perdagangan dengan Mesir di perbatasan.
Wilayah Palestina seperti umumnya timur tengah tergolong sulit mata air. Air yang dikonsumsi warga Israel dan Palestina didapat dari Danau Laut Tiberias yang airnya cukup melimpah.
Sayangnya, danau itu dikuasai penuh oleh Israel. Merekalah yang menyatakan berhak mengolah sumber air itu untuk kebutuhan warga Israel dan Palestina.
Sementara untuk suplai makanan sebagiannya diperoleh dari sektor pertanian. Gaza tergolong wilayah di Palestina yang sangat subur. Sekitar seratus hektar tanah di Gaza cocok untuk ditanam, ternak, dan sejenisnya.
Separuh lebih warga Gaza merupakan petani dan peternak. Sejumlah produk hasil pertanian antara lain jeruk, zaitun, kurma, anggur, dan stroberi.
Sebelum masa blokade oleh Israel, hasil pertanian itu bisa dijual ke luar negeri. Antara lain ke Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, Yordania, dan Israel sendiri.
Dengan kata lain, warga Gaza telah membuktikan mampu bekerja keras dari lahan yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Namun, pintu-pintu suplai itu telah diputus Israel. Mereka baru akan membuka pintu isolasi jika Hamas mau membebaskan tahanan Israel.
Keadaan ini, jika menoleh ke sejarah, mirip seperti yang pernah dialami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beserta kaum muslimin saat itu.
Mereka pernah diisolasi selama tiga tahun ketika masih tinggal di Mekah. Tak ada makanan, perdagangan, bahkan larangan untuk berkomunikasi dengan dunia luar termasuk pernikahan.
Sedemikian parahnya boikot itu, ada sahabat Nabi yang mengkonsumsi sandal kulitnya sendiri. Sandal itu ia olah sedemikian rupa sehingga bisa dimakan.
Begitu pun ketika Rasulullah dan para sahabat radhiyallahum ajma’in berada di Madinah. Mereka bukan sekadar diisolasi oleh dunia Arab waktu itu, tapi juga dikepung dengan persenjataan lengkap. Seolah kematian sudah terlihat di depan mata.
Persis seperti yang dialami umat Islam di Gaza saat ini. Tetap di dalam akan mati kelaparan, dan jika keluar akan mati disergap musuh.
Saat di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu, turun firman Allah subhanahu wata’ala, Surah Ali Imran ayat 173.
“(yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang ketika ada orang-orang mengatakan, ‘Orang-orang (Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu. Karena itu, takutlah kepada mereka.’
“Ternyata, (ucapan) itu menambah (kuat) iman mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik pelindung.”
Hasbunallahu wani’mal wakil. Itulah kalimat yang terucap melalui aliran hati yang dipenuhi dengan keimanan kepada Allah subhanahu wata’ala.
Rasanya, Gaza mengalami hal ini bukan yang pertama kali. Sudah lebih dari tiga kali mereka mengalami hal ini, dan hal itu mereka lalui dengan sangat baik.
Justru masalahnya ada pada kita sendiri. Karena isolasi tidak selalu berbentuk kolektif seperti yang dialami warga Gaza. Isolasi juga muncul alami menguji masing-masing individu kita.
Lakukanlah seperti yang diajarkan Allah subhanahu wata’ala melalui sunnah Nabi dan para sahabat waktu itu. Hasbunallahu wani’mal wakil. Yakinlah bahwa Yang Maha Rahman dan Rahim selalu menolong hamba-Nya, termasuk kita semua. [Mh]