BERKUNJUNG ke Registan Square Samarkand bersama penulis buku Journey to Samarkand, Uttiek M. Panji Astuti, kita akan dibawa mengulik cerita kelam tentang komunis di Uzbekistan.
“Komunis Tak Pernah Manis” begitu judul artikel yang ditulis beliau pada 30 September 2023. Berikut kisah selengkapnya.
“Pasti mahasiswa di sini tidak ada yang bermasalah dengan uang kuliahnya,” celetuknya riang yang membuat saya tertawa.
“Kalau ada kenaikan uang kuliah juga enggak perlu demo, cukup mencongkel emas di sini saja,” lanjutnya yang membuat saya tambah geli.
Becandaan ala anak kuliahan Gen Z itu dilontarkan Kim, mahasiswa pascasarjana jurusan Hukum universitas negeri terkemuka di Tanah Air, yang menjadi salah satu peserta dalam rombongan @muslimsafarproject ke Uzbekistan.
“Kampus” yang sedang dibecandainnya itu adalah Tilya Kari Madrasah yang berada di komplek Registan Square.
Tentu bukan dengan maksud mengolok-olok ya, tapi becandaan satire yang mengungkapkan kegetiran atas sistem pendidikan di negeri kita tercinta.
Baca juga: Jejak Ulama Samarkand di Nusantara
Berkunjung ke Registan Square Samarkand
Sore itu semua rombongan terperangah melihat kemegahan Registan Square, kompleks madrasah atau sekolah tinggi yang berada di pusat kota Samarkand.
Terdapat tiga madrasah di tempat ini, Ulugh Beg Madrasah yang dibangun abad ke 14, Sher-dor Madrasah dan Tilya Kari Madrasah yang dibangun abad ke 17.
Nama terakhir itu berarti emas dalam bahasa setempat dan dulunya bangunan itu memang betul-betul dilapis emas.
Itu pula yang membuat semua takjub tak bisa berkata-kata, hingga terlontarlah komentar miris dengan nada becanda.
Begitu indahnya tempat ini hingga saya memilihnya menjadi sampul buku Journey to Samarkand. Sekalipun telah berkali mengunjunginya, namun dada tetap terasa sesak dibuatnya.
Tentulah para penuntut ilmu di tiga madrasah itu tidak ada yang bermasalah dengan uang kuliah, sebagaimana sistem pendidikan dalam peradaban Islam pada waktu itu, tidak ada yang memungut biaya alias gratis ditanggung negara.
Pendidikan yang dapat diakses semua orang dengan mudah menjadi salah satu sebab majunya negeri ini, hingga kemudian komunis Soviet datang dan merusak segalanya.
Rakyat negeri jajahan secara sistematis dijauhkan dari segala hal yang berbau agama. Madrasah-madrasah dan masjid dihancurkan atau dialihfungsikan menjadi bangunan lain.
Saat itulah awan gelap kebodohan perlahan mulai menutupi langit Asia Tengah. Tempat di mana dulu para ulama dan cendekiawan Muslim yang hebat dilahirkan.
View this post on Instagram
Anak cucu Imam Bukhari, Imam Tirmizi, Al Biruni, Al Khawarizmi, Ibn Sina itu seakan “amnesia” dengan sejarah kebesaran bangsanya.
Mereka yang pada dasarnya sangat cerdas, dipaksa menjadi “robot” dalam sistem komunis, tanpa bisa melakukan perlawanan.
Anak-anak muda yang seharusnya bisa menggantikan para alim itu dipaksa menjadi petani kapas atau buruh dengan upah ala kadarnya.
Nestapa berkepanjangan menyelimuti Asia Tengah sejak saat itu.
Maka benarlah bahwa cahaya ilmu pengetahuan berkelindan dengan cahaya hidayah. Ketika cahaya hidayah disingkirkan, maka saat itu pula benderang ilmu pengetahuan sirna.
Selamanya komunis tak akan pernah manis. Dari Asia Tengah kita belajar sejarah.[ind]