Oleh: Anhar A. Kelto
ChanelMuslim.com – Kejadiannya belum lama. Tepatnya pada pertengahan bulan Juli di 2017.
Satu benjolan tumbuh di leher sebelah kanan istri saya. Dan dalam hitungan puluhan jam saja, tambah lagi satu benjolan. Berdekatan.
Tetapi Google menyuruh tenang. Itu biasa, kata beberapa artikel.
Teorinya, benjolan akan mengempis begitu bobot tubuh meningkat. Berarti tugas saya hanya mengingatkan istri makan lebih banyak. Coto atau pallubasa ditambah kapsul China kianpi sepertinya cocok.
Namun perintah tenang tak mempan lagi ketika benjolan demi benjolan muncul. Tiga, empat, lima, banyak. Bukan juga sekadar di leher. Ada pula di ketiak dan selangkangan.
Kami harus ke dokter!
Di sekitar rumah kami ada dokter praktek namanya cukup dikenal karena tarifnya yang tak membuat kening mengkerut saat berada di depan kasir. Kesanalah saya membawa istri.
Tiba di klinik, dokter tak memeriksa serius. Tidak juga menulis resep obat. Ia hanya menengok satu benjolan, matanya menerawang. Menatap ke dinding, lalu ke mata saya.
“Punya BPJS, kan?”
“Tidak, Dok.”
“Urus cepat, dan bawa istrimu kerumah sakit. Tumor ini, ” katanya kemudian tak banyak bicara lagi.
Saya tambah khawatir. Mimik wajah dokter agak sulit berbohong.
Maka untuk pertama kalinya saya mesti berurusan dengan orang-orang di BPJS. Kantornya ber-AC namun tak begitu dingin lantaran panjangnya antrean. Staf di situ bilang, perlu 12 hari agar kartu bisa aktif.
Sayangnya, dalam masa menunggu mereka yang digaji negara menyelesaikan proses itu, istri saya drop. Berat badannya turun sampai 32 kilogram saja. Beruntung dia dianugerahi mental yang jauh lebih berisi dari tubuhnya yang kurus.
Begitu kartu BPJS tiba di dompet saya, kami langsung ke klinik yang tertera di kartu. Sama dengan dokter praktek yang kutemui 2 pekan lalu, dokter di klinik pun menyarankan agar istri saya langsung di rujuk ke Rumah Sakit karena keterbatasan alat ucapnya, kamipun meminta agar dirujuk ke RS Tajuddin Chalid di Daya.
Jaga-jaga andai istri saya harus opname. Rumah kami sangat dekat dari situ. Banyak ojek atau kalau mau yang gratis, beberapa tetangga bisa mengantar dan menjemput.
Kami ke poli bedah RS.Tadjuddin terlebih dahulu. Dokter di sana menghitung jumlah benjolan baik-baik dengan dibantu alat yang mampu melihat sesuatu di balik kulit semacam USG. Sudah ada 13 ternyata. Rumitnya, sebagian besar susah diangkat. Jaraknya dekat betul dengan pembuluh darah. Risikonya tidak ringan.
Tetapi dokter ahli cukup bisa menenangkan. Dia bilang ini bukan tumor. Kami diarahkan ke ONKOLOGI. Namun di situ kami justru merasa aneh. Poli itu nyaris tak ada pasien. Tidak seperti poli gigi misalnya. Jangan-jangan ini lebih keras dari tumor?. Penderitanya minim.
Hingga akhirnya kesimpulan keluar. Istri saya terserang multiple lymphoma colli. Nama yang merepotkan. Namun kita bisa menyederhanakannya dengan sebutan kanker. Dugaan kami betul. Memang lebih parah dari diagnosa 3 dokter sebelumnya.
Dokter di onkologi meminta kami sabar dan mengurangi mengeluh. Sepertinya akan lama, kata mereka. Bisa-bisa harus ada sesi serius setiap pekan di rumah sakit itu. Kami harus bersiap akrab dengan suasana dan bau obat-obatan di situ.
Istri saya lalu dioperasi kecil. Biopsi. Dan Sampel benjolan langsung kami bawa RS Unhas. Lab di situ diklaim lebih canggih. Namun tetap butuh waktu lama untuk mengecek hasilnya. Sepuluh hari kalau saya tidak salah ingat.
Kami menunggu hasil lab dengan gelisah. Istri saya juga. Dia tak setenang sebelumnya.
Saya yang mencoba biasa saja setiap ke masjid dekat rumah, juga tak bisa menyimpan rahasia. Beberapa jemaah melihat ada yang lain di wajah saya. Meski sedang penuh wudu.
Saya membantah, tetapi mereka tak percaya.
Ustadz kami di masjid itu juga menangkap hal tak biasa di wajah saya. “Kamu kenapa, Anhar?”
“Keluarga kami diberi ujian oleh Allah, Ustadz. Istri saya sakit. Kanker.”
Jawaban semacam itu akan sangat dramatis andai di film. Barangkali ditambah musik yang menyayat atau backsound guntur. Akan ada tokoh yang menangis. Tetapi itu tidak berlaku pada Ustadz yang ada di depan saya, beliau sangat tenang meresponsnya.
“Sabar,” timpalnya.
Saya baru hendak mengangguk saat dia masuk ke kalimat kedua. “Ada dosa yang hanya bisa diangkat lewat sakit.”
Dan tahukah Anda, saya malah disuruh bersyukur.
Ini, tentu saja, sangat berat. Istrimu sakit, parah, dan kamu disarankan tampak senang. Tetapi memang harus begitu, kata Ustadz. Ridho ketika sakit menimpa adalah definisi paling puncak dari tawakkal.
Di luar sabar, Ustadz menitip beberapa resep. Biar bagaimana, imbuhnya, keberserahan harus diikuti oleh ikhtiar.
Saya diberi lafaz doa. Kalimat yang biasa dibaca Rasullullah saw ketika ada kerabatnya yang tak sehat. Bismillah tiga kali disusul “Audzu billahi waqudratihi minsyarri maa ajidu waa uhadzir” tujuh kali. Tangan kanan ditempatkan di bagian yang sakit.
Ustadz juga mengisyaratkan tak perlu ada zat kimia yang masuk ke tubuh istri saya. Segala tablet dan juga kemoterapi lebih berpeluang menjadi racun. Apalagi bila harapan satu-satunya justru ditumpukan kepada buatan pabrik itu.
Belasan Kurma nabi dan stengah liter air zam-zam oleh-oleh sepupu yang baru pulang dari haji ditambah dengan rebusan daun sirsak, bunga rosella, serta ekstrak taripang menemani kesabaran yang kami bangun perlahan. Namun khusus ekstrak taripang, cuma sesekali. Tabungan kami tak banyak.
Dengan segala doa dan upaya itu, istri saya merasa siap sembuh. Tetapi dia juga berkali-kali menegaskan tidak pernah takut mati. Dia hanya meminta dipulangkan ke Tasikmalaya, kampung halamannya. Orang tua dan keluarga besarnya ada di situ.
Dia juga mulai memberi wasiat-wasiat kepada putri kami.
“Kalau bunda sudah tak ada, tetap jadi anak saleha ya,” katanya di suatu malam. Saya merasa darah saya tak mengalir beberapa waktu mendengar itu. Pikiran saya liar.
Putri kami juga sempat kehilangan kekanak-kanakannya. Dia mulai menerka apa yang akan terjadi bila bundanya sudah tak ada.
“Saya sama siapa nanti?” Katanya polos.
Saya merenung. Hampir menangis.
Namun tawakkal tak boleh kalah oleh rasa apapun. Di malam sebelum saya pergi mengambil hasil lab di RS.Unhas, saya betul-betul bersimpuh.Saya Ridho, Laa hawla walaa quata Illah billah. Sepertinya itu puncak doa saya. Ada juga nazar jihad di dalamnya.
Pagi, saya ke RS Unhas. Dua lembar kertas yang disatukan saya terima dengan gugup.
Saya tak begitu membaca mukadimahnya. Sebab saya pelototi pun tak akan paham. Saya tak banyak bergaul dengan orang-orang yang mengerti medis. Sewaktu SMU saya juga bukan anak IPA.
Mata saya langsung ke kesimpulan. Letaknya di bagian terbawah surat itu. “Tak ada ditemukan gambaran limfoma maligna.” Begitu isinya.
Istri saya negatif kanker!
Namun saya tak bisa buru-buru senyum. Sebab ada penyakit lain yang ditemukan sebagai pengganti. Limfadenitis tuberkulosa namanya. Google pasti tahu apa itu. Tetapi kuota internet saya habis. Padahal saya butuh pertimbangan secepatnya, apakah harus sujud syukur atau malah menangis di hadapan banyak mata.
Allah lalu menuntun kami ke sebuah gerai cepat saji samping rumah sakit. Ya, kami. Saya dan anak saya. Dia ingin makan es krim. Lima ribu rupiah cukup untuk membuatnya bahagia. Juga cukup untuk menghidupkan mesin pencari di ponsel saya. Ada wifi gratis di sana walau kami tak berbelanja banyak.
Limfadenitis tuberkulosa, menurut internet hanyalah TBC kelenjar. Saya bilang “hanya”karena perbandingannya adalah kanker. Setidaknya saya terhibur posisi TBC kelenjar jauh di bawah kanker sebagai daftar penyakit yang mampu merubah status saya menjadi duda.
Saya lupa bentuk wajah saya saat itu. Barangkali itu kontur tergagah sepanjang hidup saya. Beberapa penelitian menyimpulkan, mereka yang sedang gembira akan terlihat jauh lebih gagah dari biasanya.
Tetapi dokter ahli di RS Tajuddin Chalid seolah tidak percaya. Tak ada teori diagnosis kanker tiba-tiba menjadi tuberkulosis. Mereka menyarankan mengangkat lagi sampel dari tubuh istri saya. Dicek sekali lagi di lab.
Namun kami tak mau kehilangan rasa senang. Saya malah membawa istri saya ke poli paru. Jangan-jangan Tuhan juga sedang menyiapkan kejutan lain untuk kami.
Sepertinya kami bakal sering bertatap muka dengan ibu dokter yang bertugas di poli paru, karena katanya istri saya harus minum obat secara rutin selama sembilan bulan dan cek up sepekan sekali. Sebulan terlewati, benjolan dileher mengecil dokter menyarankan agar dahak istri saya di masukkan ke lab. Alhasil Allah memberikan kejutan TB kelenjar istri saya juga NEGATIF.
Lantas benjolan apa yang selama ini ada ditubuh istri saya? Dokter ahli paru malah seperti menyalahkan empat dokter spesialis lain yang sebelumnya menyimpulkan kanker.
Saya tidak ikut-ikutan. Di pikiranku, istri saya mungkin memang sempat terserang kanker. Dan boleh jadi seseorang akan mendapat jatah satu atau dua keajaiban dalam hidupnya.
Hari-hari kami menjadi jauh lebih riang. Timbangan menunjukkan angka 50 kg, belasan benjolan sepertinya tidak betah lagi dileher istri saya mereka mengecil dan menghilang. Yang dulunya demam di setiap pertengahan malam yang ketika pagi selalu sembuh, juga tak pernah datang lagi. Gatal disertai biang keringat pun sudah tidak pernah kambuh lagi.
Namun hanya dua bulan, pekan ini istri saya selalu merasakan pusing lagi Mual. Secepat itu kondisinya berubah.
Kali ini kami tidak ke dokter poli paru, kami ke klinik dokter yang lain.
Istri saya diperiksa agak lama. Dan Hasilnya Positif.
Kali ini saya betul-betul Ridho dengan diagnosa dokter. Lagipula, kami telanjur tahu bahwa bersyukur adalah respons yang semestinya seorang manusia tunjukkan. Apapun kondisinya. Di manapun.
Dan memang sudah sepatutnya kami ber-Alhamdulillah agak jahar di klinik itu. Sebab yang baru saja memeriksa istri saya adalah seorang dokter kandungan.
Iya Istri saya positif, positif hamil.
Masya Allah. Saya tak pernah menemukan skenario seasyik ini. Pemeran utamanya nyaris kehilangan nyawa di awal, tetapi malah mendapat tambahan nyawa di ujung kisah.
Doakan kami bisa menimang bayi lagi, tanpa kekurangan rasa syukur sedikit pun.
Terakhir , kami ingin berbagi satu ayat dalam Alquran semoga menjadi inspirasi terbaik dalam menghadapi setiap persoalan.
“Wahai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.
(Al-Baqarah [2] : 153).