TANPA keimanan, semua amal tak bernilai. Tanpa keimanan, semua yang nikmat menjadi seperti siksaan.
Banyak non muslim yang ingin merasakan seperti apa nikmatnya berpuasa. Mereka terheran-heran bagaimana mungkin jutaan orang bisa nyaman seharian tanpa makan, minum, dan kenikmatan lainnya.
Untuk mendapatkan rasa itu, tak ada cara selain melaksanakannya. Mereka pun berpuasa seperti umat Islam berpuasa.
Mereka yakin tak bisa melakukannya kecuali berada di lingkungan umat Islam. Bukan di negaranya yang mayoritas non muslim.
Ada di antara mereka warga Eropa yang akhirnya tinggal sementara di Bali, di Lombok, dan wilayah lainnya di Indonesia. Ada juga yang menetap sementara di Arab Saudi, Qatar, Kuwait, dan lainnya.
Mereka jadwalkan makan sahur seperti umat Islam. Mereka pun berpuasa layaknya umat Islam berpuasa.
Selain rasa penasaran itu, rata-rata mereka sudah memahami manfaat berpuasa: sehat jasmani dan sehat ruhani.
Dalam berpuasa itu, guliran waktu menjadi begitu berharga. Bukan hanya jam ke jam, menit ke menit pun terasa begitu sangat berharga. Kok lama sekali ya waktu berbuka datang.
Ada yang sukses menjalani itu selama satu bulan penuh. Tapi kebanyakannya hanya bisa bertahan maksimal satu pekan saja.
Pun begitu, itu sudah sangat berat. Bisa dibilang, hanya satu dari ribuan yang berhasil lulus berpuasa selama satu bulan.
Padahal, umat Islam berpuasa tidak sekadar menahan lapar dan haus. Tapi juga memperbanyak zikir, tilawah Al-Qur’an, qiyamul lail, infak dan sedekah.
Pertanyaannya, apa yang membuat non muslim itu merasakan kesulitan luar biasa? Jawabannya sangat sederhana: mereka tak punya keimanan.
Secara fisik mungkin mereka sudah dianggap lebih dari mampu. Secara wawasan, mereka juga sudah sangat paham manfaat berpuasa. Tapi tanpa iman, semua kelayakan itu menjadi mandul.
Andai mereka mau menerima iman dan Islam terlebih dahulu, mungkin rasa berat berpuasa akan terkikis dengan sendirinya.
Kita mungkin tidak pernah mengalami proses pencarian hikmah berpuasa seperti itu. Tidak pernah pula mencari-cari Islam dengan pengorbanan besar. Tapi, sudah Allah anugerahkan secara turun-temurun.
Kita lahir dari orang tua yang beriman, dan kita pun tumbuh besar dari lingkungan orang-orang beriman.
Inilah anugerah besar yang Allah berikan kepada kita. Tanpa bersusah payah. Tanpa proses uji coba seperti yang dilakukan para non muslim dari belahan negara itu.
Kita beriman karena Allah anugerahkan kita keimanan secara otomatis, lengkap dengan lingkungan membuat kita matang.
Bersyukurlah, karena hal itu tidak pernah kita minta di saat kita belum lahir. Bersyukurlah, karena Allah anugerahkan kita keimanan tanpa kita minta. [Mh]