ANTARA tragedi dan kemuliaan. Indonesia kembali menjadi berita di media internasional. Ironisnya, berita yang muncul (lagi-lagi) adalah kabar duka.
Aljazeera English menulis, “More Than 100 Killed in Stampede”. TRTWorld menulis, “At Least 120 Dead in Soccer Stampede”.
Arab News menulis, “Nearly 200 People were Killed”. Skysport.com menulis “Indonesia: At Least 174 People Killed After Riot at Football Match”.
Jaringan media Australian Broadcasting Corp mencatat dari tahun 1994 sampai 2019 sekitar 74 suporter sepakbola di Indonesia tewas karena kekerasan.
Penulis buku Journey to the Light Uttiek M. Panji Astuti menulis mengenai tragedi Kanjuruhan yang terjadi pada 1 Oktober 2022 lalu.
Banyak yang menyoroti tindakan aparat yang melontarkan gas air mata ke penonton yang berada di area tertutup dengan pintu-pintu keluar terbatas merupakan tindakan di luar batas nalar.
Problem lain yang belakangan muncul adalah panitia penyelenggara diduga menjual tiket melebihi jumlah penonton yang direkomendasikan kepolisian.
Tiket yang dijual sebanyak 42 ribu, sedangkan rekomendasi kepolisian hanya 38 ribu.
Apapun, yang terjadi di Stadion Kanjuruhan (1/10) adalah tragedi. Untuk kesekian kalinya nyawa manusia sangat murah harganya di negeri tercinta.
Innalillahi wa innailaihi rajiun.
Saya membayangkan saat anak-anak muda itu berebut menyelamatkan diri keluar dari arena pertandingan, di tanggal 2 Oktober 835 tahun lalu, ribuan pemuda seumuran mereka bergemuruh meneriakkan takbir.
Antara Tragedi dan Kemuliaan
Tepat di hari itu, salib raksasa yang terpasang di atas Kubah al Sakrah selama 88 tahun diturunkan, mengiringi kemenangan pasukan Muslimin yang dipimpin Sang Pahlawan Shalahuddin Al Ayyubi.
Baitul Maqdis yang diperjuangkan dengan darah dan air mata oleh para ulama dan syuhada akhirnya kembali mulia. Adzan kembali dikumandangkan menandai didirikannya shalat Jumat setelah sekian lama.
Kabar kemenangan itu segera menyebar ke seluruh penjuru bumi. Para khatib mengabarkannya melalui mimbar-minbar shalat Jumat.
Muslimin di seluruh dunia menyambut kemenangan itu dengan penuh keharuan dan bahagia tak terkira.
Baca Juga: Tragedi Kanjuruhan, Ustaz Bachtiar Nasir Sampaikan Belasungkawa
View this post on Instagram
Jangan membayangkan di Baitul Maqdis terjadi chaos akibat pihak lawan terkalahkan. Sang Panglima Shalahuddin dengan segala kearifannya menjamin keamanan Pasukan Salib yang keluar dari negeri itu.
Mereka yang tertawan dibebaskan dengan tebusan yang sangat ringan, tak kurang dari 10 dinar saja. Bahkan sebagian besar dibebaskan dengan kemurahan hatinya.
Saudara lelakinya, Al Adil, turut membebaskan 1.000 tawanan dengan hartanya.
Penduduk Nasrani yang sejak semula tinggal di Baitul Maqdis tetap dibiarkan tinggal tanpa diusik keyakinannya. Mereka tetap bebas beribadah dengan rasa aman.
Tanggal 2 Oktober akan selalu berulang. Kalau Pasukan Shalahuddin melewatinya dengan kemenangan penuh kemuliaan, kemarin (lagi-lagi) kita harus menyaksikan tragedi yang menggores rasa kemanusiaan.
Duka untuk semua korban dan keluarga yang ditinggalkan.[ind]