PARA wanita yang mengantarkan suaminya ke gerbang kemenangan ini menjadi inspirasi buat kita semua, Sahabat Muslimah.
Bagaimana para wanita ini mendukung suaminya hingga sukses, bahkan kadang para istri tersebut tidak sempat merasakan keberhasilan suami karena lebih dulu wafat.
Penulis buku Journey to the Light Uttiek Herlambang mengawali tulisannya dengan kisah cinta Inggit dengan Soekarno.
“Kisah cinta Inggit Ganarsih dengan Soekarno berjalin dengan perjuangan dan pengorbanan. Inggit bagi Soekarno adalah alter ego -wanita yang abadi (das ewig weilbliche), kata pujangga Goethe.
Di gerbang kemerdekaan, Inggit berpisah dengan Soekarno. Namun hatinya tetap penuh cinta, maaf dan doa.”
Demikian salah satu review buku berjudul “Kuantar ke Gerbang” karya sastrawan Ramadhan KH, yang ditulis di sebuah situs literasi. Buku ini merupakan novel biografi kisah cinta Inggit dan Soekarno.
Tulisan ini tak hendak membahas buku itu.
Sejarah menuliskan banyak wanita mulia yang mendampingi perjuangan orang-orang yang dicintai, namun hanya sampai gerbang kemenangan dan tak “merasakan” hasilnya.
Mereka mendedikasikan hidupnya dalam perjuangan itu. Jatuh bangun memberikan segalanya.
Namun, ketika perjuangannya mulai membuahkan hasil, karena satu dan lain hal, mereka harus menepi dalam sepi atau bahkan telah berpulang.
Para Wanita yang Mengantarkan Suaminya ke Gerbang Kemenangan
Baca Juga: Ummu Hakim binti Al-Harits, Sahabiyah yang Membunuh Pasukan Romawi pada Hari Pernikahannya
View this post on Instagram
.
Seperti kisah perjuangan Ibunda Khadijah yang mendampingi perjuangan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam selama 25 tahun. Ibunda Khadijah adalah wanita pertama yang membenarkan datangnya risalah.
Dengan keteguhan hatinya, ia selimuti Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang ketakutan setelah menerima wahyu pertama. Ia besarkan hati dan berikan semangat padanya.
Ia adalah wanita pertama yang melaksanakan perintah shalat. Ia berikan seluruh harta dan hidupnya demi tegaknya kalimat Tauhid.
Hingga wafat, Ibunda Khadijah tidak pernah menyaksikan Islam yang berkembang luar biasa. Wanita mulia itu menghadap Allah tiga tahun sebelum Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam hijrah ke Madinah.
Demikian halnya kisah perjuangan Asma binti Abu Bakar mendampingi suaminya Zubair bin Awwam, di masa awal datangnya Islam.
Keduanya melewati periode Makkah yang berdarah-darah. Lalu bersama-sama hijrah ke Madinah saat Asma dalam keadaan hamil tua.
Tercatat putra mereka, Abdullah bin Zubair adalah bayi pertama dari kaum Muhajirin yang lahir di Madinah.
Kelahirannya sekaligus mematahkan kedustaan kaum Yahudi akan kutukan bahwa tidak akan ada bayi yang lahir di Madinah setelah peristiwa hijrah.
Kebersamaan mereka dalam suka dan duka berjuang untuk Islam akhirnya harus pupus setelah 28 tahun. Ada yang riwayat yang menyebutkan keduanya berpisah, mesti tidak dijelaskan apa alasannya.
Riwayat yang masyhur adalah adanya syair yang ditulis Atikah binti Zaid yang mendampingi Zubair bin Awwam saat syahid, bukan lagi Asma binti Abu Bakar.
Peristiwa itu membuat Atikah digelari istri para syuhada. Sedang Asma binti Abu Bakar di akhir hidupnya lebih banyak dituliskan perjuangannya bersama putra-putranya.
Demikianlah suratan takdir yang digariskan. Ada wanita-wanita yang terpilih mengantarkan Sang Pejuang “hanya” sampai gerbang kemenangan.[ind]