EKONOMI Eropa terpuruk imbas perang Rusia Ukraina. Selama lebih dari 20 tahun, Eropa baru kali ini mengalami inflasi sebesar rata-rata 7,5 persen.
Perang Rusia Ukraina memang tidak bisa dianggap enteng. Pengaruhnya begitu dahsyat. Bukan imbas dari senjatanya, tapi dari dampak ekonominya.
Hal ini karena Eropa merupakan negara importir minyak dan gas. Dan parahnya, mereka impor dari Rusia. Hingga 60 persen produk itu diimpor dari Rusia.
Ketika Amerika mewajibkan seluruh negara Barat melakukan embargo ekonomi kepada Rusia, Eropa labil. Pasalnya, bagaimana mungkin melakukan embargo kalau negaranya sendiri bergantung ke Rusia.
Mencermati itu, Rusia tidak mau kalah langkah. Sebelum embargo benar-benar terjadi, Rusia mewajibkan transaksi impor Eropa dari negaranya menggunakan mata uang Rubel atau mata uang Rusia. Bukan dengan dolar atau Euro seperti selama ini terjadi.
Rusia mengancam, jika sampai tanggal 1 April lalu, Eropa tidak mampu menyiapkan Rubel sebagai pembayaran, maka impor minyak dan gas akan dihentikan.
Kontan saja, Eropa blingsatan seperti cacing kepanasan. Pilihannya hanya dua: menyiapkan Rubel dan itu berarti menopang ekonomi Rusia, atau tidak mendapat minyak dan gas dan itu berarti “kiamat” dalam negeri.
Dalam kebimbangan itu, harga-harga minyak dan gas meroket tajam di Eropa. Hal ini karena kekhawatiran minyak dan gas akan langka jika Eropa tidak dapat pasokan minyak dan gas dari Rusia.
Imbasnya, terjadi inflasi di Eropa. Kenaikan harga minyak dan gas memicu kenaikan harga-harga lain. Saat ini, inflasi di Eropa mencapai 7,5 persen. Itu pun sudah hasil kerja keras pakar ekonomi mereka.
Sebagai perbandingan, di Indonesia yang kenaikan harga-harga barangnya bisa dibilang luar biasa, inflasi masih berkisar antara 3,5 sampai 5 persen. Lalu, bagaimana jika sampai 7,5 persen?
Padahal, seperti halnya Indonesia dan negara-negara lainnya, ekonomi Eropa dua tahun ini sudah terpuruk imbas dari pandemi Covid-19.
Yang lebih parah dari sekian negara Eropa atau kawasan di sekitarnya, adalah apa yang terjadi di Turki. Inflasi di negeri itu dikabarkan sudah mencapai 61 persen. Masya Allah, sebuah angka yang terburuk sejak puluhan terakhir ini.
Musibah ini terjadi karena Turki sebagai negara importir minyak dan gas seratus persen dari Rusia. Artinya, tidak ada alternatif lain dari sektor energinya kecuali dari Rusia. Jika pasokan Rusia berhenti, tidak ada bensin dan listrik di negeri itu.
Inilah sebab utama inflasi super dahsyat di Turki. Pemerintah Turki fokus memangkas kebijakan yang menambah beratnya harga barang. Seperti menurunkan PPN atau pajak pertambahan nilai barang, menurunkan suku bunga agar uang lebih banyak beredar di sektor usaha, bukan masuk ke bank.
Defisit perdagangan Turki bahkan mencapai 240 persen. Nilai defisitnya mencapai 10,44 milyar dolar. Sebab utamanya itu tadi, nilai impor minyak dan gasnya melonjak 4 kali lipat dibanding tahun lalu.
Entah seperti apa ujung dari prahara dunia Rusia dan Ukraina ini. Semoga tidak lebih parah dari yang terjadi saat ini. [Mh]