Oleh: Jumari Suyudin, MSi.
(Peneliti Center for Indonesian Reform, CIR)
Ilustrasi foto: BNPB
ChanelMuslim.com- Secara sederhana kebijakan publik adalah setiap keputusan dan strategi yang dibuat pemerintah untuk merealisasikan tujuan negara. Secara filosofi, setiap kebijakan publik harus bermakna positif bagi publik, khususnya dalam konteks kehidupan bernegara. Kebijakan publik yang berdampak negatif atau mengancam keselamatan atau kenyamanan publik dalam kehidupan bernegara bukanlah kebijakan publik, melainkan kejahatan publik, yaitu kejahatan yang dilakukan aparat Negara. Kebijakan public yang merusak mungin berstatus legal karena diputuskan/dikeluarkan lembaga yang berwenang melalui prosedur formal, namun tujuanny ternyata untuk memenuhi hasrat kekuasaan yang rakus dan tamak belaka. (Riant Nugroho, 2020). Dalam kondisi seperti sekarang, ketika bencana terjadi serentak di berbagai daerah, membuat sebuah kebijakan yang cepat, tepat dan berorientasi penyelamatan rakyat adalah sebuah keharusan. Berapapun ongkos yang harus dikeluarkan.
Tahapan pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik, menurut William N. Dunn (1994), ada lima proses yang harus diperhatikan. Pertama perumusan, yaitu memberikan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah, kedua forecasting (peramalan) yaitu memberikan informasi mengenai akibat yang akan terjadi di masa depan dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk apabila tidak membuat kebijakan. Ketiga rekomendasi, yaitu memberikan informasi mengenai manfaat bersih dari setiap alternatif, dan merekomendasikan alternatif kebijakan yang memberikan manfaat paling tinggi, keempat monitoring, yaitu memberikan informasi mengenai konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan termasuk kendala-kendalanya, dan kelima evaluasi, yaitu informasi mengenai kualitas kebijakan yang telah dibuat.
Kebijakan public di tengah bencana harus didasari pikiran positif, yang memenangkan kepentingan dan kebaikan publik. Kebijakan publik dibuat tidak boleh didasarkan faktor negatif, misalnya ketidaksukaan atau kebencian pada kelompok tertentu. Setidaknya hal semacam itu harus diperhatikan dan dihindari pemerintah dalam membuat sebuah kebijakan. Apalagi di tengah bencana alam dan pandemi seperti sekarang. Suatu contoh keluarga Peraturan Presiden Nomor7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024 ( RAN PE). Perpres itu ditandatangani pada 6 Januari 2021 dan resmi diundangkan sehari setelahnya. Apa tujuan Perpres itu sebenarnya? Mendefinisikan gejala ekstremisme saja sangat bias dan absurd, apalagi untuk mengatasinya. Apa urgensi Perpres itu di tengah bencana saat ini, ketika kepercayaan publik terhadap aparat pemerintah sedang diuji habis-habisan?
Agar kebijakan publik benar-benar bernilai positif dan prorakyat, maka dibuat berdasarkan kehendak mayoritas rakyat. Sebab, rakyat juga yang akan merasakan manfaat atau dampak dari kebijakan tersebut. Konsultasi publik, bahkan uji sahih dan manfaat dari suatu kebijakan harus dilakukan secara terbuka dan partisipatif. Jangan hanya seremoni atau kejar setoran seperti proses pembuatan UU Cipta Kera (Omnibus Law) yang menguras energi dan meminta korban rakyat tak bersalah. [Mh]