CUKUP itu tak berarti banyak. Dan sangat relatif untuk masing-masing orang. Yang penting, cukup itu bisa membahagiakan hati.
Ada seorang pegawai kelas bawah di kantor DPRD di sebuah daerah di Sulawesi yang ‘ketiban’ durian runtuh. Di rekeningnya yang biasa nol, tiba-tiba terdapat angka berderet panjang. Jumlahnya triliunan rupiah.
Hal itu ia ketahui secara tidak sengaja. Karena dikabarkan ia akan dapat dana bantuan sosial tunai via rekening bank, ia cek lagi keadaan rekeningnya.
Ia khawatir kalau rekeningnya sudah diblokir karena sudah keseringan bersaldo nol. Sambil ia mengecek, ia juga sudah siapkan uang seratus ribu rupiah untuk dimasukkan ke tabungan agar rekeningnya tetap ‘hidup’.
Namun betapa terkejutnya sang pegawai itu ketika ia melihat saldo terdapat sederet angka yang jumlahnya begitu banyak. Triliunan rupiah. Ia pun melaporkan ke pihak bank.
Bayangkan jika sang pegawai tidak jujur. Ia menganggap kalau uang yang ‘hinggap’ di rekeningnya dianggapnya sebagai rejeki nomplok. Mungkin, ia akan sangat kerepotan selain tentunya akan berpotensi berhadapan dengan hukum.
Dalam kehidupan sehari-hari, siapa pun kita, akan membutuhkan rezeki sesuai dengan kebutuhan yang wajar. Wajar artinya yang mencukupi.
Kata mencukupi itu berbeda-beda takarannya di setiap orang. Namun, sesuatu yang mencukupi tidak berarti berlimpah. Tapi sekadar sesuai antara yang didapat dengan yang dikeluarkan.
Orang yang bahagia adalah orang yang merasa cukup dengan rezeki yang ia terima. Bahkan ia merasa perlu untuk berbagi, meskipun jumlahnya tidak banyak.
Dan ketika seseorang bisa berbagi, hal itu menjadi kebahagiaan lain melampaui kebahagiaan karena rezeki yang mencukupi itu.
Jadi, bahagia itu bukan karena rezeki yang berlimpah. Karena tetap saja, kebutuhan manusia ada ukurannya. Tidak bisa melar seperti karet dan tidak bisa terus meluber seperti lautan.
Ketika seseorang memperoleh rezeki yang melar dan meluber bukan akan membahagiakan. Justru membuatnya terbebani dengan berbagai urusan yang tidak perlu.
Misalnya, ia akan bingung menyimpang uangnya di mana lagi, ia akan bingung mau dibelanjakan apa lagi, dan ia akan bingung kalau rezekinya itu akan berkurang atau hilang.
Itulah di antara beban-beban yang tidak perlu. Sekali lagi, kebutuhan manusia itu ada takarannya. Ketika sudah melampaui takaran, bukan bahagia yang ia dapatkan, justru malah beban yang meresahkan.
Jadi, tugas yang berat itu bukan sibuk mencari-cari rezeki agar bisa luber. Tapi bagaimana bisa merasa cukup dengan rezeki dari Allah, seberapa pun yang Ia berikan. Dan ketika itu sudah terpenuhi, itulah bahagia yang hakiki.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengajarkan doa kepada seorang sahabat. Doa itu artinya, Ya Allah cukupkan rezeki kami dari yang halal yang Engkau berikan. Dan kayakan kami melalui keutamaan dariMu.
Sahabat radhiyallahu ‘anhu itu tidak diajarkan doa, Ya Allah banyakkan kami dengan rezekiMu. Tapi, cukupkan kami.
Karena yang cukup itulah yang bisa membahagiakan hati. Yang bisa menggerakkan hati dan fisik untuk kian rajin beribadah kepada Allah. Bukan rezeki yang justru membuat malas dan jauh dari Allah.
Sekarang, bagaimana jika Anda sendiri yang tiba-tiba di rekeningnya ada uang triliunan. Apakah Anda akan jujur dengan melaporkan, atau akan kabur untuk foya-foya membelanjakannya.
Pilihan syukur itu bukan pada jumlah yang kita terima. Tapi pada hati yang berterima kasih dengan semua anugerah Allah. [Mh]