MUNAFIK itu menyembunyikan kekafiran. Munafik juga berarti menutup keburukan dengan kebaikan yang pura-pura.
Ada tokoh buruk yang begitu bersejarah. Ia bernama Abdullah bin Ubay bin Salul, seorang tokoh dari Suku Khazraj yang akhirnya dikenal sebagai gembong munafik.
Ibnu Salul, begitu sapaannya, merasa yakin akan menjadi pemimpin Madinah. Tapi, setelah kedatangan Rasulullah citranya pudar begitu saja. Kharismanya hilang begitu cepat.
Ia tak lagi memandang Rasulullah sebagai Nabi pembawa risalah. Tapi hanya seorang pesaing yang harus dikalahkan.
Untuk melancarkan ambisi buruknya itu, ia pun sukses berperan sebagai sosok munafik. Sebuah sosok yang belum pernah terjadi saat Islam masih bergerak di Mekah.
Betapa bahayanya orang seperti itu. Demi ambisi pribadi dan kepicikannya tentang Islam, ia mengorbankan umat yang telah menganggapnya sebagai saudara seiman.
Pertanyaannya, mungkinkah hal itu bisa terjadi pada siapa pun? Jawabannya, mungkin saja bisa. Selama, ada keburukan dalam hati yang selalu dikemas dengan bungkus kebaikan.
Mungkin bobot buruk yang disembunyikannya saja yang berbeda. Tidak sebesar yang pernah dilakukan Ibnu Salul.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan tentang tanda sifat munafik. Yaitu, jika bicara dusta, jika janji ingkar, jika diberikan amanah khianat.
Pertanyaannya kemudian, apakah kita tidak pernah dusta? Apakah kita tidak pernah ingkar janji? Apakah kita tidak pernah melalaikan amanah?
Rasanya, tiga perbuatan yang menjadi ciri munafik itu pernah dilakukan. Bahkan mungkin sering. Naudzubillah jika sudah menjadi hal biasa.
Kita pernah berdusta. Kita pernah ingkar janji. Kita juga pernah melalaikan amanah.
Apakah itu berarti kita sudah terhinggapi penyakit munafik? Kadang, kita mengakui pernah melakukan tiga hal buruk itu, tapi sangat berkeberatan jika disebut sudah menjadi munafik.
Satu hal yang kadang lupa kita sadari: sesuatu yang besar selalu bermula dari yang kecil. Bahkan sangat kecil. Sebegitu kecilnya bahkan kita anggap sebagai hal biasa.
Tapi, pernahkah kita menghitung berapa kali kita berdusta. Berapa kali kita ingkar janji. Dan berapa kali kita lalai dalam amanah.
Bayangkan kalau itu kita lakukan sebulan sekali. Kalau umur kita 40, dikurangi usia balig kira-kira 15 tahun, maka totalnya mencapai 25 tahun dikali 12. Jumlahnya 300.
Bayangkan jika kita lakukan sepekan sekali, maka totalnya mencapai 300 dikali 4, yaitu 1.200 kali.
Suatu hal yang kita anggap kecil, atau jarang, tapi jika ditotal sepanjang usia yang telah kita lalui, jumlahnya ternyata bisa ribuan.
Lalu, seberapa besar daya tahan hati kita yang bisa meredam ribuan peristiwa kemunafikan. Sekali lagi, jangan heran jika suatu keburukan yang kita anggap kecil; tanpa sadar, sudah menjadi pengendali.
Mumpung masih ada daya tahan hati untuk kembali jernih, hapus saja semua kebiasaan buruk itu. Jangan ada dusta. Jangan ada ingkar janji. Dan jangan ada lalai dalam amanah. [Mh]