PEJUANG luar biasa itu tidak mengandalkan senjata. Tidak juga kemampuan yang dimiliki diri. Melainkan, kekuatan yang melampaui itu semua.
Bayangkan ketika hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi dan para sahabat memahami betul bahwa misi yang diemban akan berbenturan dengan banyak kekuatan.
Di dunia saat itu, setidaknya ada tiga kekuatan besar. Kekuatan kaum musyrikin yang menguasai seluruh jazirah Arab. Kekuatan Persia yang menguasai Persia dan sekitarnya. Dan kekuatan Romawi yang menguasai hampir separuh dunia saat itu.
Jadi, kalau pun lolos di kekuatan pertama, akan berhadapan dengan yang kedua, dan kemudian dengan yang ketiga. Padahal, sumber daya yang dimiliki saat itu tergolong ‘ala kadarnya’.
Benar saja. Eksistensi mereka menjadi buruan kekuatan pertama atau lokal, kedua yang lebih besar, dan ketiga yang jauh lebih besar.
Satu kekuatan lagi yang justru terasa begitu berat daripada tiga kekuatan tadi. Yaitu, musuh-musuh dalam selimut yang disebut kaum munafik.
Kalau hanya mengandalkan kekuatan biasa, rasanya tidak mungkin bisa lolos dari hantaman kekuatan-kekuatan besar itu.
Kekuatan luar biasa itu ada pada kedekatan dengan Yang Maha Kuat, Allah subhanahu wata’ala. Itulah di antara hikmah fokus ayat-ayat Makiyah yang khusus menggembleng akidah Nabi dan para sahabat.
Kedekatan tak mungkin ada tanpa pengenalan. Tentang siapa Allah subhanahu wata’ala sepertinya mendominasi ayat-ayat Makiyah yang mereka pahami.
Dan hikmah sejarah yang ditempuh Nabi dan para sahabat, sejatinya menjadi jejak-jejak yang harus ditelusuri dan diikuti generasi Islam hingga kini.
Inilah medan dakwah Indonesia. Sebuah potensi negeri yang terus membuat was-was dunia yang tidak suka dengan Islam. Potensi jumlah penduduknya, kekayaan sumberdaya alamnya, dan letak strategisnya.
Boleh jadi, semua kekuatan anti Islam dunia saat ini terus berjibaku menghalau dakwah Islam. Tapi kenyataannya, sedikit demi sedikit, cengkeraman jahat itu mulai terurai.
Dimulai dari peristiwa kemerdekaan. Dilanjutkan lagi dengan tumbangnya rezim-rezim otoriter yang anti Islam. Tetap bersatunya ormas-ormas Islam besar dan menengah.
Sebelum era 80-an, sulit sekali kita menemukan muslimah-muslimah dengan busana yang Islami. Tapi kini sebaliknya, sulit sekali kita menemukan muslimah-muslimah yang tanpa mengenakan busana Islami.
Meskipun siang dan malam, bangsa ini dipertontonkan dengan figur-figur idola yang tanpa busana Islami. Meskipun berkali-kali, busana muslimah distigmakan sebagai busana ‘kaum radikal’.
Begitu pun dengan geliat kebangkitan di masjid-masjid, lembaga-lembaga pendidikan, dan ormas-ormas Islam. Mereka terus bergerak dalam bingkai dakwah Islam.
Kini, menguji keberhasilan dakwah itu ada di depan mata. Yaitu, sebuah perhelatan nasional tentang siapa yang akan terpilih menjadi pemimpin bangsa.
Tentu langkah menuju itu takkan mulus. Semua ‘setan-setan’ yang sudah lama bercokol di negeri ini akan bangkit.
Sekali lagi, saatnya meresapi dalam hati, bahwa ini bukan perjuangan biasa. Dan kekuatan yang mesti disiapkan pun bukan kekuatan biasa. Yaitu, kekuatan hubungan yang dekat dengan Allah subhanahu wata’ala.
Allah subhanahu wata’ala berfirman, “(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang ketika ada orang-orang mengatakan kepadanya, ‘Orang-orang (Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian, karena itu takutlah kepada mereka.’
“Ternyata (ucapan) itu menambah (kuat) iman mereka dan mereka menjawab, ‘Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik pelindung.” (QS. Ali Imran: 173) [Mh]