ADA sebuah kisah dari Umar bin Abdul Aziz yang mendengar bagaimana nasib jenazah di alam kubur. Hal ini menjadi pengingat untuk kita terhadap kematian yang pasti terjadi.
Kisah ini dikutip dari Malam Pertama di Alam Kubur, karya Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al-‘Arify dkk, 2005, cet; VI, hal; 40.
Abdullah bin Iyas menceritakan dari ayahnya, bahwa suatu hari Umar bin Abdul Aziz mengantarkan jenazah keluarganya ke kubur. Ketika para pengiring lainnya telah pulang, Umar dan salah seorang sahabatnya masih tetap berada di sisi kuburan.
Baca Juga: Kisah Umar bin Abdul Aziz dan Anak-Anak yang Cerdas
Kisah Umar bin Abdul Aziz Mendengar Nasib Jenazah di Alam Kubur
Sahabatnya bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, jenazah yang kau antarkan itu telah meninggalkanmu, tidakkah engkau juga ingin meninggalkannya?”
Umar menjawab, “Ya, aku juga ingin meninggalkannya, hanya saja kuburan yang ada di belakangku seakan memanggilku dan berkata, “Wahai Umar, tidakkah engkau ingin bertanya kepadaku tentang apa yang telah kuperbuat terhadap orang yang engkau cintai ini?”
“Ya.”
“Aku telah mengoyak-ngoyak kain kafannya, mencabik-cabik badannya, menghisap darahnya dan mengunyah dagingnya.”
“Tidakkah engkau ingin bertanya tentang apa yang telah ku perbuat terhadap anggota tubuhnya?”
“YA.”
“Aku telah mencabut (satu persatu) kedua telapak tangan dari tulang hastanya, kedua tulang hastanya dari tulang lengan atasnya dan kedua lengan atasnya dari tulang pundaknya.
Aku juga telah mencabut kedua tulang pangkal paha dari kedua pahanya, kedua pahanya dari ruasnya, kedua ruasnya dari tulang betisnya dan kedua betisnya dari kedua telapak kakinya.”
Sejenak kemudian, Umar menangis dan berkata, “Bukankah dunia itu fana.
Orang yang mulia akan menjadi hina, yang kaya akan menjadi miskin papa, yang muda akan berangsur tua dan yg hidup juga akan mati juga?”
Itulah kematian yang pasti kita temui, Allah berfirman; “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” [An-Nisa’;78].
Dan inilah yang dipersiapkan oleh para ulama’ salafus shalih.
Lihatlah pengakuan mereka. Rabi’ bin Abi Rasyid berkata, “Kalau mengingat mati terpisah dari hatiku maka aku khawatir hatiku akan rusak.”
Rabi’ juga berkata, “Kalau hatiku lalai dari mengingat kematian sekejap saja maka hatiku pasti rusak.”
Qa’qa’ bin Hakim mengingatkan, “Aku telah mempersiapkan untuk menghadapi kematian semenjak 30 tahun.
Kalau ada kesempatan datang kepadaku, maka aku tidak suka menunda suatu amalan dari amalan yang lain.”
Sufyan ats-Tsauri berkata, “Aku melihat ada seorang syaikh di masjid Kufah yang berkata, “Aku berada di masjid ini semenjak 30 tahun untuk menanti kematian yang akan menghampiriku. Kalau ia mendatangiku maka aku tidak memerintahkan atau melarang sesuatu.”
Hatim al-Asham berkata, “Aku mendengar Syaqiq berkata, “Persiapkanlah bila kematian mendatangimu agar kamu tidak berkeinginan kembali, dan katakan kepada dirimu setiap pagi, “Aku akan memakan kematian, memakai kain kafan, dan tinggal di kuburan.
Bayangkanlah di dalam hatimu seolah malaikat maut dan bala tentaranya datang untuk mencabut ruhmu lalu tunggulah apa yang akan terjadi.”
Sekarang bagaimanakah dengan kita? Sudah bersiapkah kita bila bersua Allah Ta’ala; pagi, siang atau malam ini juga?
Semoga kita tidak pernah lupa dengan firman-Nya, “Alhakumut takatsur hatta zurtumul maqabir, nikmat yang banyak telah melalaikanmu hingga kamu ‘masuk’ kubur.
Kalau kita peka dan jeli, kata yang dipakai dalam ayat tersebut adalah zurtum bukan dakhaltum, ziarah bukan masuk; maknanya, masuknya kita ke dalam kuburan adalah sekedar ziarah, ya.
Sekadar ziarah karena setelahnya ada kehidupan yang lebih kekal dan abadi, entah dalam siksa neraka atau kenikmatan surgawi.
Ya Allah masukkan kami semua ke dalam surgaMu.
Ustaz Agus Santoso, Lc., M.P.I
t.me/bimbingansyariah