ChanelMuslim.com – Setelah kematian sang kakek, selang dua tahun kemudian, Muhammad pun tinggal bersama pamannya, Abu Thalib. Remaja pada zaman itu banyak yang rusak akibat perbuatan maksiat, tapi dengan izin Allah, Muhammad terjaga dari perbuatan yang merugikan kebanyakan kawan sebayanya.
Karena ketika di sana, hati Muhammad kecil merasa pengap dengan kehidupan di Mekah. Setiap hari, dilihatnya anak-anak fakir miskin seusianya bekerja bersama-sama dengan bertelanjang tanpa rasa malu. Muhammad juga melihat setiap malam pintu rumah orang-orang kaya tertutup rapat. Di dalam, mereka berpesta pora, menyaksikan para penari, dan bermabuk-mabukan sampai pagi sambil dijaga oleh para budak. Padahal, di tempat lain, ia melihat orang-orang berjuang mencari rezeki antara hidup dan mati.
Muhammad sering sekali melintas di depan gubuk-gubuk reyot dan rumah-rumah kumuh. Pintu-pintu mereka juga tertutup rapat, tetapi di dalamnya tinggal orang-orang yang hidup menderita. Orang-orang itu jika tidak memiliki bahan makanan, besok atau lusa terpaksa menggadaikan anak gadis, istri atau ibunya untuk dikumpulkan menjadi budak para saudagar demi melepaskan diri dari lilitan utang.
Di depan gubuk-gubuk itu, Muhammad melihat para pemuda berkumpul. Pikiran mereka dipenuhi impian tentang datangnya mukjizat yang akan mampu membebaskan Mekah dari kebiadaban. Para pemuda itu berkumpul mengelilingi seorang laki-laki yang bercerita tentang legenda-legenda indah orang-orang terdahulu yang berjuang melawan raja yang sewenang-wenang.
Pada masa pengasuhan Abu Thalib, Muhammad saw menjalani masa remaja. Ketika Muhammad berusia 12 tahun, Abu Thalib berniat pergi berdagang ke Syam untuk mencari nafkah. Karena Muhammad meminta untuk ikut bersamanya, akhirnya Abu Thalib mengajaknya pergi ke Syam (sekarang meliputi Suriah, Palestina, Yordania dan Lebanon) untuk berbisnis. Dari sang pamanlah Muhammad berkenalan dengan dunia perdagangan.
“Ajaklah aku, Paman!” pinta Muhammad
“Tetapi, perjalanan padang pasir begitu sulit dan jauh! Aku tidak tega mengajak anak sekecilmu menempuh kesulitan sedemikian berat!”.
Saat itu, hanya Abu Thalib tempat Muhammad berlindung. Ia merasa amat kesepian jika harus menghadapi kehidupan Mekah seorang diri, tanpa ada paman di sampingnya.
“Kepada siapakah Paman akan meninggalkan aku seorang diri apabila Paman pergi nanti?” tanya Muhammad begitu mengiba.
Abu Thalib sangat terharu, “Demi Allah, aku pasti membawanya pergi. Ia tidak boleh berpisah denganku dan aku tidak mau berpisah dengannya selama-lamanya.”
Abu Thalib juga amat menyayangi keponakannya itu. Budi pekerti Muhammad yang luhur, cerdas, suka berbakti, dan baik hati, sangat menyenangkan Abu Thalib. Ia bahkan lebih mendahulukan kepentingan Muhammad daripada anak-anaknya sendiri.
Begitu pun sebaliknya, Muhammad amat mencintai pamannya. Ia tahu pamannya memiliki banyak anak kecil dan hidup dalam kemiskinan. Namun demikian, pamannya tidak pernah berutang. Abu Thalib lebih suka bekerja keras memeras keringat untuk menafkahi keluarganya. Karena itulah, tanpa ragu, Muhammad ikut bekerja seperti anak-anak Abu Thalib yang lain. Ia ikut membantu pekerjaan keluarga Abu Thalib, menggembalakan kambing, dan mencari rumput.
Demikianlah, akhirnya Muhammad saw ikut berangkat bersama rombongan kafilah Quraisy menuju Syam.[ind/Walidah]
bersambung