KEPATUHAN Abdullah bin Amr pada ayahnya walau hati menolak. Pada masa itu, Mu’awiyah di Syam menolak kekhalifahan Ali. Sebaliknya, Ali tidak akan membiarkan pembangkangan yang dilakukan tidak pada tempatnya.
Baca Juga: Nasihat Rasulullah pada Abdullah bin Amr bin Ash
Kepatuhan Abdullah bin Amr Patuh pada Ayahnya walau Hati Menolak
Maka, terjadilah perang antara dua kelompok kaum muslimin. Peperangan pertama, yaitu Perang Jamal, berlangsung kemudian usai.
Setelah itu dilanjutkan dengan Perang Shiffin. Saat itu, Amr bin Ash memilih berpihak kepada Mu’awiyah.
Amr mengetahui bahwa anaknya, Abdullah, sangat dihormati dan dipercaya oleh kaum muslimin.
Maka, ia bermaksud mengajak anaknya di barisan Mu’awiyah, karena akan sangat menguntungkan bagi pihak Mu’awiyah.
Selain itu, ia berharap banyak terhadap kepiawaian berperang Abdullah. la tahu kiprah anaknya pada peristiwa pembebasan wilayah Syam dan Perang Yarmuk.
Ketika Amr hendak berangkat ke Shiffin, ia memanggil Abdullah anaknya, dan berkata kepadanya, “Abdullah, bersiaplah untuk berangkat. Kamu akan ikut berperang di pihak kami.”
Abdullah menjawab, “itu tidak mungkin! Rasulullah telah berpesan kepadaku agar aku tidak membunuh sesama muslim.”
Dengan kecerdikannya, Amr terus berusaha meyakinkan anaknya.
la menjelaskan bahwa keberangkatan ini bertujuan agar para pembunuh Utsman dijatuhi hukuman.
Amr mengeluarkan senjata pamungkasnya, “Abdullah, masih ingatkah kamu akan pesan Rasulullah ketika tanganmu ditaruh di atas tanganku. Beliau bersabda, ‘Taatilah ayahmu’? Sekarang, aku menyuruhmu berangkat dan berperang di pihak kami.
Abdullah berangkat demi ketaatannya kepada sang ayah. la bertekad untuk tidak ikut menghunus senjata dan tidak membunuh sesama muslim.
Akan tetapi, bagaimana caranya? Yang penting, ia sekarang sudah berangkat bersama ayahnya. Adapun jika perang sudah terjadi, maka Allah yang akan memutuskan apa yang akan terjadi.
Perang pun berkecamuk dengan sengitnya. Benar-benar sangat mencekam.
Para ahli sejarah berbeda pendapat, apakah Abdullah ikut bertempur di awal peperangan atau tidak?
Menurut kami, ia ikut berperang di awal pertempuran, karena beberapa saat setelah pertempuran dimulai, terjadilah peristiwa yang menjadikan Abdullah bin Amr mengambil sikap tegas dan terang-terangan menentang peperangan itu, serta menentang tindakan Mu’awiyah.
‘Ammar bin Yasir saat itu berperang di pihak Ali. Ammar sangat dihormati dan dimuliakan oleh para sahabat.
Lebih dari itu, sejak dahulu, Rasulullah mengabarkan kematiannya dan siapa pembunuhnya.
Ketika itu, Rasulullah bersama para sahabat sedang membangun Masjid Nabawi, tidak lama setelah kedatangan mereka di batu yang digunakan sebagai bahan bangunan ialah batu-batu berat, hingga orang yang terkuat pun hanya mampu mengangkat satu.
Namun, ‘Ammar—karena sangat gembira dan bersemai- mampu mengangkat dua batu sekaligus.
Rasulullah menyaksikan hal itu. Beliau terus memperhatikannya dengan mata berkaca-kaca. Beliau bersabda, “Duhai putra Sumayah. la akan mati dibunuh oleh kelompok pembangkang.”
Para sahabat yang ikut dalam pembangunan masjid itu mendengar sabda Rasulullah ini dan masih tetap mengingatnya. Termasuk Abdullah bin Amr.
Di awal pertempuran antara kelompok Ali dan kelompok Mu’awiyah, Ammar naik ke tempat yang agak tinggi dan berseru, “Hari ini kita akan berjumpa orang-orang tercinta, yaitu Rasulullah dan para sahabatnya.
Beberapa orang dari kelompok Mu’awiyah sepakat untuk membunuhnya. Mereka membidikkan anak panah mereka dan berhasil mengangtarkan ‘Ammar ke dunia para syuhada, Berita terbunuhnya ‘Ammar menyebar sangat cepat Abdullah tercengang penuh kemarahan, “Apa? ‘Ammar terbunuh dan kalianlah pembunuhnya? Kalau begitu, kalianlah para pembangkang. Kalian berperang di jalan yang sesat.”
Abdullah berkeliling di antara pasukan Mu’awiyah, memberikan peringatan, mengendurkan semangat mereka, dan menyatakan bahwa mereka adalah para pembangkang karena telah membunuh ‘Ammar, di mana 27 tahun yang lalu, di hadapan para sahabat, Rasulullah telah mengabarkan bahwa ia akan dibunuh oleh para pembangkang.
Ucapan Abdullah itu disampaikan kepada Mu’awiyah. Maka, ia segera memanggil Amr dan anaknya (Abdullah).
Ia berkata kepada Amr, “Mengapa tidak kau bungkam anak gila ini?”
Abdullah menjawab, “Aku tidak gila. Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda kepada ‘Ammar, ‘Kamu akan dibunuh oleh kelompok pembangkang.”
Mu’awiyah berkata kepadanya, “Mengapa kamu berada di pihak kami?” Abdullah menjawab, “Karena Rasulullah menyuruhku patuh kepada ayah. Aku telah mematuhinya, tetapi aku tidak ikut berperang.
Di saat mereka sedang berbincang-bincang seperti itu, seseorang masuk-memintakah izin menghadap untuk laki-iaki pembunuh ‘Ammar.
Abdullah langsung berseru, “Izinkan dia masuk dan sampaikan kepadanya bahwa neraka menunggunya.”
Mu’awiyah tidak bisa menahan kemarahannya. la berkata kepada Amr, “Tidakkah kau dengar perkataannya?”
Sebaliknya, dengan tenang dan damai, begitulah sifat orang-orang yang bertakwa, Abdullah menegaskan kepada Mu’awiyah bahwa yang dikatakannya adalah benar dan orang yang membunuh Ammar adalah para pembangkang.
la menoleh kepada ayahnya dan berkata, “Seandainya Rasulullah tidak menyuruhku patuh kepada Ayah,’ pasti aku tidak mengikuti perjalanan ini.”
Mu’awiyah dan Amr keluar memeriksa pasukan. Alangkah terkejutnya mereka ketika mengetahui bahwa semuanya membicarakan nubuwat Rasulullah terhadap Ammar, “Kamu akan dibunuh oleh kelompok pemberontak. ”
Amr dan Mu’awiyah merasakan bahwa desas-desus itu akan memicu pembangkangan terhadap Mu’awiyah.
Maka, mereka memikirkan suatu musilihat. Mereka mendapatkannya laiu melontarkannya kepada segenap pasukan.
Keduanya berkata, “Benar Rasulullah pernah mengatakan kepada ‘Ammar bahwa la akan dibunuh oleh kelompok pembangkang. Nubuwat Rasulullah itu benar dan buktinya sekarang ‘Ammar telah dibunuh,
Nah, siapakah sebenarnya yang telah membunuhnya? Pembunuhnya tidak lain adalah orang-orang yang mengajaknya ikut berperang.”
Dalam suasana kacau-balau ini, berbagai logika mudah diterima. Begitulah penjelasan Mu’awiyah dan Amr langsung diterima oleh para pengikutnya. Maka, pertempuran kembali dimulai.
Sedangkan Abdullah bin Amr kembali ke masjid dan ibadahnya. la mengisi hidupnya hanya dengan ibadah.
Akan tetapi, keterlibatannya di Perang Shiffin selalu membuatnya gundah. Setiap kali ia mengingatnya, ia langsung menangis, “Mengapa aku harus terlibat di Perang Shiffin? Mengapa aku harus terlibat dalam perang sesama kaum muslimin?”
[Cms]
Sumber : Biografi 60 Sahabat Nabi, Penerbit Al Itihsom