ChanelMuslim.com – Sampah Diri
Seorang murid tengah berjalan kaki bersama gurunya. Mereka menuju rumah murid yang lain yang sudah begitu lama tidak hadir ke sekolah. Dan, tibalah keduanya di sebuah rumah sederhana. Sekeliling rumah itu terhampar kebun karet.
Setelah mengucapkan salam, seorang bapak keluar dari balik pintu. “Cari siapa?” ucap sang bapak kemudian.
Baca Juga: Gamal Albinsaid dan Sampah untuk Bayar Berobat
Sampah Diri
“Saya guru anak bapak. Mau menanyakan, kenapa anak bapak tidak hadir ke sekolah begitu lama?” ucap sang guru, sopan.
“Anak saya tidak akan sekolah lagi,” jawab sang bapak agak kasar. “Sekolah tidak menghasilkan uang. Mending bantu saya di kebun. Paham!” lanjutnya, tetap dengan nada tinggi.
“Maaf, Pak. Pendidikan anak Bapak sangat penting,” ucap sang guru.
“Masa bodo. Gara-gara anak saya ikutan sekolah Anda, dia jadi pemalas,” sergah sang bapak sambil menutup pintu.
Sang murid memperhatikan sikap gurunya yang hanya diam dimarahi seperti itu. Dan ini sudah yang kesekian kalinya sang guru dimarahi oleh orang tua murid-muridnya. Tapi, kesekian kali itu pula sang guru kembali ke rumah-rumah mereka untuk mengajak anak-anak kembali ke sekolah.
Di saat guru dan murid itu beristirahat melepas lelah, sang murid berujar, “Pak Guru dimarahi banyak orang, padahal Pak Guru tidak bersalah. Kenapa Pak Guru diam saja?”
“Anakku, bagaimana menurutmu jika orang memberikan sesuatu kepada kita, sementara kita tidak menanggapi, kemana barang itu pergi?” ucap sang guru, tenang.
“Kembali ke yang memberi, Pak,” jawab sang murid.
“Benar sekali, anakku. Marah mereka, ungkapan kesal mereka, ketidakpuasan mereka; yang mereka lontarkan kepada kita adalah sampah. Sampah jiwa mereka.
“Kalau kita tidak tanggapi, sampah-sampah itu akan kembali ke pemiliknya. Suatu saat nanti, Allah akan meminta pertanggungjawaban atas apa yang diucapkan itu,” jelas sang guru.
Sang murid mengangguk pelan seraya pandangannya tetap menyimak gestur gurunya.
“Anakku, jangan kau mengambil sesuatu dari orang lain kalau kau tak mampu memberi.
“Jangan pernah membenci orang lain kalau kau tak bisa mengasihi.
“Kalau kau tak bisa menghibur orang lain, jangan kau sakiti.
“Kalau terasa sulit bagimu untuk menghibur orang lain, jangan kau hina.
“Kalau kau tak bisa bersahabat dengan orang lain, jangan kau musuhi.
“Sibukkan dirimu untuk selalu meluruskan kekuranganmu sendiri, niscaya kau akan abai dengan keburukan orang lain.” (Mh)