NILA setitik, haram semuanya. Beberapa waktu lalu sempat viral kasus vlogger yang makan kerupuk babi di restoran bakso bersertifikasi halal MUI.
Menurutnya, kerupuk itu dibelinya di gerai lain, masih di dalam komplek Bandara Ngurah Rai, Bali.
Buntut dari kejadian itu, pihak restoran akhirnya menghancurkan seluruh mangkuk yang dimiliki gerai itu sejumlah 88 buah.
Netizen pun kembali ramai berkomentar. Ada yang menilai penghancuran alat makan itu lebay.
Namun lebih banyak yang mengapresiasinya sekaligus mengucapkan terima kasih atas komitmennya sebagai restoran yang telah memiliki SH MUI.
“Sebagai bentuk komitmen kami menjaga sertifikasi halal yang telah dimiliki oleh Baso A Fung, kami mengambil langkah yang terbaik yaitu dengan menghancurkan seluruh peralatan makan yang ada di Baso A Fung Bandara Domestik Keberangkatan Ngurah Rai Bali. Sekali lagi kami memohon maaf yang sedalam-dalamnya atas kejadian Ini,” tulis manajemen Bakso A Fung dikutip dari Instagram resminya.
Baca juga: Heboh Selebgram Pamer Makan Kerupuk Babi di Restoran Bakso Halal
Nila Setitik, Haram Semuanya
Penulis buku Journey to the Light, Uttiek M. Panji Astuti menulis keprihatinannya atas ulah para food vlogger yang dengan leluasa mengonsumsi makanan/minuman haram dan mengemasnya menjadi sebuah tayangan.
Masih mending kalau sejak awal di-notice dulu bahwa tayangan itu adalah konten video makanan/minuman haram sehingga bisa langsung di-skip.
Bahkan seringkali dengan santai mereka mengatakan, “Yang aku makan ini versi non halal ya Gaes. Tapi ada juga kok versi halalnya di restoran ini.”
Bagaimana mungkin makanan halal dan haram bisa bercampur dalam satu restoran? Satu tetes saja zat yang diharamkan tercampur, maka seluruhnya menjadi haram.
Lebih memprihatinkan lagi, para followersnya pun bersikap permisif. “Yang penting aku tidak makan, kalau yang lain mau makan, itu urusan dia.”
View this post on Instagram
Kehati-hatian menjaga setiap tetes makanan/minuman yang masuk ke dalam tubuh dari yang diharamkan adalah mutlak bagi seorang Muslim. Sebagaimana yang dicontohkan para alim terdahulu.
Diriwayatkan Ar Quraifish dalam kitab “Ar Raudh Al Faiq”, Imam Abu Hanifah pernah menahan diri tidak makan daging kambing, setelah mendengar ada seekor kambing dicuri di wilayahnya.
Hal itu dilakukannya selama beberapa tahun, sesuai dengan umur kehidupan kambing pada umumnya. Ia begitu khawatir kalau daging kambing yang dimakannya adalah kambing curian itu, tanpa ia tahu.
Kehati-hatian yang sama pernah dilakukan seorang ulama Madzhab Hambali bernama Ibnu Hamid Al Waraq.
Dalam perjalanan haji tahun 402 H, ia kehabisan perbekalan di jalan, hingga akhirnya nyaris pingsan karena kehausan.
Seorang pemuda mendatanginya sambil mebawakan sedikit air dan makanan. Dalam keadaan tak berdaya Ibnu Hamid bertanya, “Dari mana air itu diperoleh? Dan bagaimana cara mendapatkannya?”
“Kau masih menanyakannya padahal kondisimu sudah sangat payah seperti ini?” Tanya pemuda itu keheranan.
”Justru inilah waktunya, saat bertemu Allah, aku memerlukan jawaban, dari mana ia berasal?”
Ibnu Hamid Al Warraq akhirnya wafat satu tahun setelah peristiwa itu. Kisah ini termaktub dalam kitab “Thabaqat Al Hanabilah” yang ditulis Qadhi Ibnu Abi Ya’la.
Yuklah, say no untuk postingan makanan/minuman haram![ind]