SEJARAH mengajarkan kita banyak hal. Ada idola yang menuntun dan menyelamatkan. Tapi, ada pula yang menjerumuskan.
Di masa penjajahan Belanda, ada seorang sosok tokoh penjajah yang begitu terkenal di tanah air. Namanya Haji Abdul Gaffar alias Christiaan Snouck Hurgronje.
Nama Haji Abdul Gaffar ia peroleh tidak sekadar asal ganti nama. Tapi buah dari perjuangan beratnya untuk bisa memahami agama Islam di tanah kelahiran Islam itu sendiri, yaitu Mekkah Al-Mukarromah.
Pakar ketimuran kelahiran 1857 ini, pergi ke Mekkah untuk belajar Islam. Peristiwa itu terjadi di tahun 1885. Untuk bisa masuk ke Mekah, Snouck Hurgronje harus melalui seleksi kepatutan. Tidak tanggung-tanggung, ia lakoni kejelimetan itu selama satu tahun.
Karena ia mengaku telah masuk Islam, lulusan Universitas Leiden Belanda ini pun akhirnya diterima oleh para ulama di sana. Hal itu ia manfaatkan untuk bergaul akrab dengan para ulama asal Indonesia yang sedang belajar di Mekah, termasuk dari Aceh.
Kenapa Aceh? Karena daerah inilah yang menjadi target penyusupannya. Melalui hubungan dekat dengan para ulama Aceh karena sama-sama menimbal ilmu di Mekah, Snouck menjadikan itu sebagai pintu masuk untuk bisa diterima masyarakat Aceh di kemudian hari.
Menikah dengan Muslimah
Untuk meyakinkan kemualafannya Snouck menikah dengan seorang muslimah di Jeddah Arab Saudi. Dari situ ia dikaruniai seorang anak.
Ketika pindah ke Indonesia, Snouck juga menikah dengan dua muslimah keturunan bangsawan di Jawa Barat. Satu orang di Ciamis, dan satunya lagi di Bandung.
Dari pernikahan itu, ia dikaruniai empat anak. Semua anaknya diberi nama dengan nama-nama Islam.
Namun ketika ia pulang ke Belanda, setelah merasa sukses melemahkan perjuangan umat Islam di Aceh dan lainnya, ia meninggalkan semua anggota keluarganya.
Dan di Belanda, ia menikah lagi dengan non muslim yang bernama Maria. Ia hidup bersama keluarganya di Belanda hingga akhir hayatnya.
Mencitrakan Diri sebagai Ulama asal Belanda
Bahasa Arabnya begitu fasih. Al-Qur’an dan hadis pun banyak yang ia hafal. Bukan itu saja, dirinya begitu sukses menjalin hubungan baik dengan ulama asal Indonesia seolah sebagai sesama santri di Mekah.
Namun, tak banyak yang tahu kalau posisinya di pemerintah kolonial Belanda sebagai penasihat bidang pribumi terutama keagamaan dan budaya.
Namanya pun terlihat seolah ia sudah hijrah. Bukan lagi dengan nama-nama Belanda. Tapi dengan nama Haji Abdul Gaffar. Pakai embel-embel haji karena ia mengaku telah menunaikan ibadah haji.
Untuk meyakinkan siapa pun yang menjadi targetnya, ia membawa foto-foto dirinya saat bersama santri-santri asal Aceh dan lainnya tinggal di Mekah.
Misi utama Snouck adalah melemahkan perjuangan rakyat Aceh pada saat itu. Dan tentu saja, juga melemahkan perjuangan umat Islam Indonesia di daerah-daerah lain.
Selama puluhan tahun perjuangan rakyat Aceh tak bisa ditaklukkan Belanda. Tapi setelah ia datang ke Aceh dan melakukan ‘pelemahan’, Aceh pun berhasil ditaklukkan Belanda pada awal abad ke-19.
Menurutnya, umat Islam di Aceh dan daerah-daerah Melayu umumnya, memiliki tiga kriteria. Yaitu mereka yang cenderung pada ibadah, sosial kemasyarakatan, dan politik.
Melalui sarannya, Belanda tidak membabat habis semua kriteria umat Islam. Untuk kriteria satu dan dua, Snouch meminta untuk dibiarkan dan bahkan dijalin hubungan baik agar bisa ikut memerangi kriteria yang ketiga: kaum pejuang atau politik.
Selama berinteraksi dengan masyarakat Aceh dan Indonesia saat itu, Snouck bukan hanya dengan nama baru yang begitu Islami. Tapi juga dengan perangkat atribut busana yang mirip habaib.
Tidak heran jika begitu banyak rakyat yang hormat, mencium tangannya, belajar tentang Islam, dan mengidolakannya.
Bayangkan, di masyarakat Indonesia pada masa pendidikan yang sulit itu, ada seorang yang fasih berbahasa Arab, hafal Al-Qur’an dan hadis, lulusan Mekah, dan dengan nama Haji Abdul Gaffar.
Tentu, akan begitu banyak rakyat yang mengidolakannya. Padahal, di balik jubah keislamannya itu, Snouch dianggap sukses oleh pemerintah Belanda karena telah melumpuhkan perlawanan jihad umat Islam Indonesia.
Boleh jadi, sampai saat ini, masih banyak pemikiran-pemikiran Snouck Hurgronje yang masih membekas di generasi umat Islam.
Antara lain, hadis yang ia selalu kedepankan, yaitu bahwa Rasulullah mewanti-wanti dengan jihad akbar yang lebih berat dari jihad senjata. Yaitu, jihad melawan hawa nafsu.
Dengan kata lain, Snouch mengajarkan bahwa jihad senjata masih kecil pahalanya di banding jihad melawan hawa nafsu. Tak perlulah jihad dengan senjata, cukup dengan jihad melawan hawa nafsu karena pahalanya luar biasa.
Padahal kalau memang jihad melawan hawa nafsu memang lebih utama, kenapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat radhiyallahum ajma’in berkali-kali melaksanakan jihad senjata. Begitu banyak di antara mereka yang syahid fi sabilillah. [Mh]