ChanelMuslim.com- Seorang warga Surabaya bernama M. Sholeh mengajukan uji materi terhadap Surat Edaran Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 kepada Mahkamah Agung. Surat Edaran yang digugat itu tentang syarat berpergian dengan transportasi umum laut, darat, dan udara yang wajib dilengkapi dengan surat hasil rapid tes atau tes PCR.
Menurut M. Sholeh, seperti dituturkan kepada media, bahwa syarat surat hasil rapid tes tidak relevan dan cenderung pemborosan. Selain itu, masih menurutnya, Gugus Tugas tidak berwenang mengeluarkan aturan seperti itu kepada seluruh masyarakat. Yang berwenang mengeluarkan aturan tersebut adalah kementerian terkait melalui Peraturan Menteri dan sejenisnya.
Tidak relevan karena hasil rapid tes tidak menjamin apakah orang memang bebas covid-19. Sementara, untuk sekali rapid tes bisa menghabiskan biaya sebesar 400 ribu rupiah. Sementara untuk tes PCR, biayanya bisa mencapai 3 juta rupiah.
Memang sejak tiga hari lalu, setelah ramai-ramai media memberitakan adanya ajuan uji materi ini, Gugus Tugas mengeluarkan surat edaran baru untuk mengganti aturan sebelumnya. Yaitu, soal masa berlaku hasil rapid tes yang semula hanya 3 hari menjadi hingga 14 hari.
Bayangkan dengan aturan masa berlaku 3 hari itu. Untuk sekali perjalanan ke suatu tempat tujuan, orang bisa melakukan rapid tes 2 kali: saat berangkat dan pulang. Dengan kata lain, biaya perjalanan bukan sekadar biaya transport, melainkan juga biaya untuk rapid tes.
Rapid tes merupakan tes melalui sampel darah pasien yang dilakukan untuk melihat anti bodi dalam darah. Jika anti bodi terlihat dalam darah, maka pasien sedang terinfeksi virus. Tapi, tidak jelas virus apa yang menginfeksi. Orang yang sedang flu biasa pun bisa menjadi positif terinfeksi virus.
Selain itu, kelemahan dari rapid tes lainnya adalah anti bodi baru terlihat setelah beberapa hari orang terinfeksi virus. Dengan kata lain, jika orang terinfeksi pada pagi hari dan siangnya ia melakukan rapid tes, maka hasilnya akan negatif karena anti bodi belum terlihat.
Tidak heran jika organisasi kesehatan dunia atau WHO tidak memberikan rekomendasi untuk melakukan rapid tes dalam penanganan wabah covid-19. Tes PCR itulah yang lebih akurat untuk saat ini. Tapi, sarana tes yang lumayan mahal itu memang belum banyak tersedia di negeri ini.
Lalu, apa manfaatnya rapid tes sebagai syarat berpergian? Inilah masalah utamanya. Kalau rapid tes tidak berbayar alias gratis, mungkin tidak menjadi soal. Bayangkan jika yang berpegian itu bukan satu orang, melainkan sebuah keluarga yang bisa mencapai lebih dari 5 orang. Jangan-jangan, biaya rapid tesnya bisa lebih mahal dari ongkos kendaraan.
Selain itu, virus covid-19 ini memiliki kemampuan penularan dari orang ke orang yang begitu cepat. Belum tentu orang yang memegang surat keterangan negatif hasil tes apa pun tidak tertular ketika ia sedang dalam perjalanan menuju pesawat, kapal, dan kereta api jarak jauh.
Dan anehnya, seperti yang disampaikan M. Sholeh, kenapa dengan kendaraan umum lain seperti angkot, ojek, taksi, KRL, bus, tidak diberlakukan syarat rapid tes. Padahal, potensi penularannya sama.
Jika dengan protokol kesehatan seperti yang berlaku saat ini: masker, jaga jarak, pengecekan suhu tubuh, sterilisasi, bisa diterapkan dengan disiplin di kendaraan umum apa pun, kenapa harus repot-repot dengan hasil tes.
Selain akan menyusahkan rakyat yang sudah lunglai dengan dampak ekonomi dari Covid-19, aturan ini juga akan menurunkan minat konsumen untuk menggunakan kendaraan umum. Yang ujung-ujungnya, negara juga yang rugi.
Akankah ada perubahan terhadap aturan ini? Rakyat sepertinya harus bersabar untuk menunggu hasil keputusan Mahkamah Agung atas gugatan tersebut. Semoga saja, rapid tes tidak menjadi rapid stres. (Mh)