ChanelMuslim.com- Belakangan ini terkenal istilah ‘Permen Jahat’ di kalangan buruh. Istilah Permen Jahat bukanlah tentang permen kembang gula yang manis. Tapi tentang Peraturan Menteri Kemenaker mengenai Jaminan Hati Tua.
Permen Kemenaker nomor 2 tahun 2022 tentang JHT sontak memunculkan reaksi keras di kalangan buruh se-Indonesia. Pasalnya, dalam Permen tersebut disebutkan bahwa pencairan JHT baru bisa dilakukan saat buruh berusia 56 tahun.
Para buruh yang diwakili asosiasi mereka menyebutkan bahwa pemerintah tidak berhak membuat aturan seperti itu. Karena uang itu murni milik buruh yang diperoleh dari pemotongan gaji tiap bulan.
Menurut para serikat buruh itu, sesuai undang-undang yang berlaku buruh berhak mendapatkan jaminan sosial ketenagakerjaan. Uang itu diperoleh dari pemotongan gaji buruh sebesar 2 persen tiap bulan. Sementara dari pihak pengusaha dikenakan tambahan untuk JHT tersebut sebesar 3,7 persen tiap bulan.
Dengan begitu, sebesar 5,7 persen dari gaji buruh disisihkan untuk jaminan sosial buruh. Jaminan sosial itu bisa diambil ketika buruh di-PHK, mengundurkan diri, atau pada saat pensiun.
Itulah argumentasi mereka yang merujuk pada Undang-undang Nomor 40 tahun 2004. Dengan kata lain, mereka menegaskan bahwa Permen Nomor 2 yang baru dikeluarkan tidak relevan.
Pemerintah berdalih bahwa untuk jaminan karena PHK ada yang disebut dengan JPK atau jaminan pemutusan hubungan kerja.
Namun menurut pihak buruh, JPK hanya “teori”, kenyataan di lapangan susah dicairkan. Seperti misalnya, jika buruh dipaksa oleh perusahaan untuk mengundurkan diri, maka buruh tersebut tidak berhak memperoleh JPK karena ia tidak di-PHK melainkan mengundurkan diri.
Di masa pandemi ini, banyak perusahaan yang mengalami krisis keuangan karena produksi menurun. Dan penyesuaian yang biasa dilakukan perusahaan adalah dengan melakukan PHK kepada buruh.
Lalu, jika buruh baru bisa mengambil uang JHT mereka ketika usia 56 tahun, dari mana mereka memperoleh jaminan sosial lainnya untuk menyambung hidup. Padahal, JHT itu merupakan uang mereka, bukan uang pemerintah.
Diperkirakan total JHT yang diperoleh dari pemotongan gaji buruh sebesar 387 trilyun rupiah. Sebuah angka yang tidak main-main.
Sejumlah pertanyaan dilayangkan pihak buruh kepada pemerintah. Seperti, kenapa pemerintah menunda pembayaran JHT hingga buruh berusia 56 tahun? Bagaimana jika buruh di-PHK jauh di bawah dari 56 tahun?
Apakah harus menunggu selama itu. Pertanyaan lainnya, kalau buruh sudah di-PHK, apa statusnya masih sebagai peserta JHT, bukankah ia bukan lagi seorang buruh dan gajinya tidak lagi mengalami pemotongan?
Persoalan jelimet ini terus membayangi ‘Permen Jahat’ yang dilontarkan buruh kepada pemerintah. Akankah aksi-aksi demo buruh akan merevisi aturan ini? Semoga saja, tidak terjadi hal-hal lain yang tidak diinginkan. [Mh]