Chanelmuslim.com-Menjalani puasa di negara lain pastinya berbeda. Seperti yang dialami Senior Advisor WHO Regional Office for South-East Asia yang juga eks kepala Balitbangkes Kementerian Kesehatan RI, Prof Tjandra Yoga Aditama. Tahun ini, Prof Tjandra pertama kalinya menjalankan ibadah puasa di India.
Prof Tjandra mengisahkan, di India, waktu subuh sekitar pukul 03.50 pagi dan maghrib sekitar pukul 19.25 malam. Kurang lebih, lama puasa di sana hampir 16 jam. Kemudian, di siang hari menurut Prof Tjandra suhunya bisa mencapai lebih dari 45 derajat Celcius dan pastinya amat menyengat. Untungnya, Prof Tjandra hampir selalu bekerja di dalam gedung sehingga tidak terlalu kepanasan.
“Ya memang panas sekali tapi di dalam kantor WHO AC-nya dingin sekali. Saking panasnya, air di keran juga terasa panas, jadi selama summer ini water heater di rumah saya matiin. Tapi pas malam tidak dingin, jadi di rumah kadang-kadang juga pakai AC,” kata Prof Tjandra.
Sehari-hari jika berada di kantor, pria 61 tahun ini memakai baju batik lengan panjang plus kaus dalam. Khusus hari Jumat, ada penampilan berbeda Prof Tjandra karena ia harus berjalan sekitar 300 meter ke masjid dekat kantor WHO untuk melaksanakan salat Jumat sehingga pada hari Jumat, dirinya menggunakan batik lengan pendek dan tetap dengan kaus dalam.
Namun, saat akan berangkat ke masjid, kaus dalam ia lepas. Perjalanan ke masjid hanya sekitar 5 menit dan selama menuju masjid, untuk menghindari panas matahari yang terlalu terik Prof Tjandra memilih berjalan di bagian yang agak teduh, di bawah pohon. Karena berpuasa di negeri orang, Prof Tjandra sudah melakukan persiapan lebih dulu. Apa itu?
“Saya sebelum puasa sudah membawa beberapa kilo rendang dari Indonesia. Jadi setiap buka puasa dan sahur, makan nasi lokal atau basmati rice dengan lauk rendang dan rempeyek yang juga saya bawa dari Jakarta. Saya bawa rendang daging sapi, rendang ayam, dan kentang,” tutur Prof Tjandra.
Setiap harinya, Prof Tjandra hanya masak nasi di rice cooker lalu rendang dipanaskan di microwave. Kadang, rendang langsung ia masukkan ke dalam rice cooker. Jadi bisa dikatakan rendang menjadi menu Prof Tjandra tiap buka dan sahur?
“Ya sahur rendang terus, tapi nggak sebulan juga karena tanggal 24 Juni nanti saya sudah ke Bali lalu ke Jakarta. Kalau saya buka ya makan rendang hampir tiap hari, mungkin ada sekali dua kali makan nasi Biryani,” katanya.
Untuk memastikan waktu sahur dan berbuka, Prof Tjandra memanfaatkan aplikasi di gadget. Hanya saja, beberapa sumber ternyata kadang-kadang memberi waktu yang berbeda. Kebetulan, saat ini Prof Tjandra tinggal di daerah Nizamuddinj di Delhi, di mana ada beberapa masjid. Nah, suatu hari Prof Tjandra pernah baru selesai makan sahur dan baru akan minum karena aplikasi di gadget menunjukkan waktu subuh masih lima menit lagi.
“Tapi pas air masuk tenggorokan, terdengar suara adzan lamat-lamat. Repotnya lagi, suara adzan itu tidak selalu terdengar sehingga sulit jadi patokan pastinya waktu, dan tentu saja di TV lokal tidak ada informasi adzan maghrib seperti di TV kita,” tutur Prof Tjandra.
Nah, untuk menghindari kejadian seperti itu, Prof Tjandra memakai dua aplikasi dan ia memilih aplikasi dengan jam buka yang paling telat. Untuk sahur, sekitar 5 atau 10 menit sebelum waktu Subuh di aplikasi, Prof Tjandra sudah berhenti minum. Ia khawatir, adzan subuh lebih cepat dari waktu di aplikasi.
Untuk menjaga tubuhnya tetap fit menjalankan ibadah puasa di negeri orang, Prof Tjandra selalu makan sahur dengan baik, sebisa mungkin menghindari terlalu banyak aktivitas fisik langsung di bawah paparan sinar matahari dengan suhu udara 45 derajat Celcius, memperbanyak aktivitas dalam ruangan, dan berbuka dengan kombinasi makanan yang sehat.
“Istri saya setiap malam face time dan selalu mengingatkan untuk beli buah, sebagai ‘padanan’ makan rendang melulu, he he he,” tutup Prof Tjandra.(ind/dethealth)