Chanelmuslim.com – Setelah peristiwa hijrah ke Madinah, kaum muslimin bermukim di sana. Masyarakat muslim terbentuk dan terus berbenah diri. ‘Ammar pun mendapat tempat tersendiri di hati kaum muslimin. Rasulullah SAW sangat sayang kepadannya, dan beliau sering membanggakan keimanan dan ketakwaan ‘Ammar di hadapan kaum muslimin yang lain, ‘Tubuh ‘Ammar ini, hingga ke tulang-tulangnya, penuh dengan iman.”
Sewaktu terjadi sedikit perselisihan antara Khalid bin Walid pahlawan Islam itu selain segera mendatangi ‘Ammar untuk mengakui kekhilafannya dan meminta maaf.
Ketika Rasulullah SAW bersama para sahabat membangun masjid di Madinah, yakni beberapa waktu setelah peristiwa hijrah, Ali mengubah sebuah syair yang didendangkan berulang-ulang oleh kaum muslimin yang sedang bekerja.
“Sesungguhnya mulia orang yang memakmurkan masjid
Duduk atau berdiri, semua bernilai ibadah
Sungguh berbeda dengan orang yang menghindari masjid.”
Waktu itu ‘Ammar sedang bekerja di salah satu sisi bangunan masjid. Ia turut berdendang, mengulang-ngulangnya nada lebih tinggi dari yang lain. Salah seorang kawan menyangka bahwa ‘Ammar ingin menonjolkan dirinya, lalu terjadi perselisihan di antara mereka hingga keluar kata-kata yang menunjukan kemarahan. Mendengar itu Rasulullah marah, “Apa yang mereka perbuat terhadap ‘Ammar? Ia mengajak mereka ke surga, tapi mereka mengajaknya ke neraka. Sungguh, ‘Ammar adalah sudut mataku.”
Jika rasa sayang Rasulullah SAW sejauh itu, tentu orang yang disayangi itu memiliki keimanan, jiwa pengorbanan, loyalitas, kemuliaan, dan keistiqamahan yang mencapai puncak kesempurnaan. Dan, itulah ‘Ammar.
Allah telah memberikan nikmat dan petunjuk kepada ‘Ammar setimpal dengan perjuangan dan pengorbananya. Keimanannya telah mendapat pengakuan dari Rasulullah. Bahkan, ia dijadikan contoh. Rasulullah berpesan kepada para sahabatnya, “Contohlah dua orang setelahku : Abu Baskar dan Umar. Dan ikutilah petunjuk ‘Ammar.”
Mengenai perawakannya, para ahli sejarah melukiskan sebagai berikut, “Bertubuh tinggi, berdada bidang dan bermata biru. Ia pendiam dan sedikit bicara.”
Nah, bagaimanakah kiranya garis kehidupan raksasa pendiam yang bermata biru, berdada lebar, dan bertubuh penuh bekas siksaan kejam yang menunjukan ketabahan yang amat mengagumkan dan keperkasaan yang luar biasa?
Bagaimanakah jalan kehidupan yang ditempuh oleh seorang pengikut yang jujur, seorang mukmin yang tulus dan seorang pejuang yang berani mati ini?
Bersama Rasulullah, sang guru, ia ikut dalam semua peperangan : Perang Badar, Uhud, Khandaq, Tabuk, dan perang lainnya.
Setelah Rasulullah wafat, laki-laki ini tidak berpangku tangan, tetapi melanjutkan kiprahnya.
Di kala kaum muslimin berperang melawan pasukan Persia dan Romawi, begitu juga ketika menghadapi pasukan kaum murtad, ‘Ammar selalu berada di barisan depan, sebagai seorang prajurit yang gagah perkasa dengan tebasan pedangnya yang tak pernah meleset. Ia juga seorang mukmin yang shalih dan mulia. Tidak satu pun yang dapat menghalanginnya dalam mencapai ridha Allah.
Ketika Khalifah Umar memilih calon-calon gubernur, dengan sangat mantap ia memilih ‘Ammar bin Yasir. Ia mengangkatnya sebagai gubernur Kufah, dan Ibnu Mas’ud sebagai penanggung jawab kas wilayah.
Khalifah Umar menulis pesan kepada para penduduk Kufah, mengabarkan berita gembira dengan terpilihnya ‘Ammar sebagai gubernur mereka, “Aku kirim kepada kalian ‘Ammar bin Yasir sebagai gubernur, dan Ibnu Mas’ud sebagai pembimbing dan teman. Mereka berdua adalah orang-orang pilihan dari generasi sahabat Muhammad SAW dan termasuk pahlawan-pahlawan Badar.”
Sistem pemerintahan yang dijalankan ‘Ammar ternyata mempersulit gerak orang-orang yang rakus terhadap dunia hingga mereka bersekongkol untuk membunuh ‘Ammar.
Ternyata, kekuasaan semakin mempertebal sikap tawadhu’. Keshalihan, dan kezuhudannya.
Ibnu Abi Hudzail, satu dari orang-orang yang hidup di masa pemerintahan’ Ammar, bercerita, “Aku melihat dengan mata kepalaku, ‘Ammar bin Yasir yang saat itu adalah gubernur Kufah, membeli sayuran di pasar lalu mengikatnya dengan tali, memikulnya di atas punggung, dan membawannya pulang.”
Pernah suatu kali, ada seorang rakyat yang belum mengenalnya, memanggilnya dengan menyebut, “Hai kamu yang telingannya terpotong!” Telinga ‘Ammar memang terpotong oleh pedang musuh saat berperang melawan orang-orang murtad.
Ammar tidak marah. Ia hanya menjawab, “Yang kamu cela adalah telingaku yang terbaik, ia terpotong ketika aku berperang membela agama Allah.”
Memang, telingannya terpotong di medan tempur Yamamah. Di medan tempur itu, satu lagi lembaran gemilang ‘Ammar terukir. Ia bergerak ke sana kemari dengan cepat, mengobrak-abrik pasukan Musailamah, bagaikan angin topan yang merabut pepohonan. Jika pasukan Islam terlihat melemah, ia berteriak dengan suaranya yang lantang dan mengetarkan, memberi semangat. Semangat pasukan Islam tumbuh kembali, lalu mereka bersama-sama menerjang musuh.
Abdullah bin Umar ra. menceritakan, ‘Wahai Perang Yamamah aku melihat ‘Ammar sedang berada di atas batu. Ia berdiri sambil berseru, ‘Hai kaum muslimin, apakah kalian hendak lari dari surga? Ini aku, ‘Ammar bin Yasir, kemarilah. ‘Ketika aku memandangnya, kulihat satu telinganya telah putus, dan ia terus berperang dengan gagah.”
Wahai kalian yang masih meragukan kesbesaran Muhammad SAW, seorang Rasul dan guru yang sempurna, lihatlah para pengikut dan sahabatnya ini. Tanyakan kepada diri kalian, “Siapakah yang mampu mencetak generasi seperti ini, selain seorang Rasul mulia dan guru terbaik?
Jika mereka di medan perang, mereka bertempur dengan gagah berani, karena yang dicari adalah kesyahidan, bukan kemenangan.
Jika mereka di kursi khalifah, mereka tetap memerah susu untuk para janda dan membuat roti untuk anak yatim. Itulah yang dilakukan Abu Bakar dan Umar.
Jika mereka di kursi gubernur, mereka memikul sendiri belanjaan mereka. Itulah yang dilakukan ‘Ammar atau tidak mengambil sedikit pun dari gaji mereka, sedangkan untuk mencukupi kebutuhannya dan keluargannya, ia membuat keranjang dan dijual. Itulah yang dilakukan Salman.
Marilah kita tundukkan kepala, memberi hormat kepada agama yang telah mencetak mereka, Rasulullah yang mendidik mereka, dan sebelum itu semua, kepada Allah yang Maha Agung yang telah memberi hidayah kepada mereka, dan memilih mereka sebagai teladan bagi umat terbaik. (Bersambung)
***