ChanelMuslim.com- Menjelang usia keempat puluh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi lebih sering menyendiri di Gua Hira. Selama tiga tahun, beliau mondar-mandir ke lokasi itu.
Kesenjangan pemikiran dan keyakinan Rasulullah kian jauh dengan orang-orang yang ada di Mekah. Ia shallallahu ‘alaihi wasallam melihat amburadulnya keyakinan dan pemikiran penduduk Mekah tentang Tuhan. Dan, tentang segalanya.
Rasulullah jadi sering menyendiri. Ia kerap mengasingkan diri di Gua Hira. Sebuah gua kecil nan indah yang terletak di Jabal Nur, sekitar 2 mil dari kota Mekah.
Selama tiga tahun Rasulullah mondar-mandir ke tempat itu. Rasul bertafakur di tempat itu. Merenungkan tentang penciptaan alam semesta dan Yang Menciptakannya. Rasul beribadah dan berpuasa pada bulan Ramadan. Karena puasa itu memang sudah ada sebelum beliau diutus.
Selama tiga tahun itu, Rasulullah menjadi lebih arif dan dermawan dengan orang-orang miskin. Selama masa tiga tahun itu, beliau pun beberapa kali mengalami mimpi yang benar.
Ketika berangkat ke gua, Rasulullah membawa roti dari gandum dan air putih. Khadijah radhiyallahu ‘anha tak segan dan bosan untuk terus melayani kebutuhan beliau.
Turunnya Wahyu di Bulan Ramadan
Pada bulan Ramadan di tahun ketiga itu, malaikat turun menyampaikan wahyu. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 21 bulan Ramadan, atau 10 Agustus tahun 610 Masehi. Usia beliau saat itu 40 tahun, 6 bulan, 10 hari menurut penanggalan qamariyah.
Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan peristiwa itu. Seorang malaikat datang menghampiri beliau saat berada di Gua Hira. Malaikat itu mengatakan, “Bacalah!” Nabi menjawab, “Aku tidak bisa membaca.” Kemudian malaikat itu memegang dan merengkuh Nabi hingga hampir kehabisan tenaga.
Malaikat itu melepas pegangannya dan kembali mengatakan, “Bacalah!” Nabi menjawab lagi, “Aku tidak bisa membaca.” Dan hal itu terus berulang hingga tiga kali.
Kemudian malaikat itu mengatakan, “Bacalah dengan nama Rabbmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah yang paling Pemurah.” (QS. Al-‘Alaq: 1-3)
Rasulullah pulang menemui Khadijah dalam keadaan bergetar dan ketakutan. “Selimuti aku, selimuti aku,” ucapnya. Khadijah pun menyelimuti beliau.
“Apa yang terjadi dengan diriku. Aku khawatir dengan keadaanku,” ucap Rasulullah lagi setelah menceritakan apa yang ia alami.
Khadijah pun menenangkan beliau. “Demi Allah, Dia tidak akan menghinakanmu selamanya…,” ucap Khadijah.
Setelah tenang, Nabi diajak Khadijah menemui sepupu Khadijah yang beragama Nasrani. Namanya, Waraqah bin Naufal bin ‘Asad. Ia sudah tua renta, matanya pun buta.
Khadijah mempersilakan Rasulullah untuk menceritakan apa yang dialami kepada Waraqah. Setelah itu, Waraqah mengatakan, “Sesungguhnya, inilah ajaran yang pernah diturunkan Nabi Musa.
“Andai saja aku masih muda dan bugar ketika itu nanti. Andai saja aku masih hidup ketika engkau diusir kaummu nanti.”
Rasulullah bertanya, “Benarkah mereka akan mengusirku?”
“Ya. Tidak seorang yang membawa seperti yang engkau bawa, melainkan akan dimusuhi. Andai saja aku masih hidup saat itu, niscaya aku akan membantumu dengan sekuat tenaga!” jawab Waraqah.
Selang beberapa lama setelah pertemuan dengan Nabi itu, Waraqah meninggal dunia. Tapi, niat dan cita-citanya sudah tercatat dalam sejarah permulaan Islam. [Mh/Kitab Rahiqul Makhtum]