ChanelMuslim.com- Istilah hoaks kembali ramai jadi sorotan. Bahkan sekaliber Presiden pun menyuarakan tentang hal itu pasca isu seksi bernama Omnibus Cipta Kerja. Polisi dikabarkan juga menangkap sejumlah orang yang berkaitan dengan sangkaan hoaks. Menteri terkait juga berkomentar tegas soal isu hoaks.
Pertanyaannya, bagaimana membedakan antara tulisan opini dengan hoaks. Karena opini itu hak setiap orang untuk menilai sesuatu. Sementara hoaks hal yang terlarang dilakukan seseorang dalam lisan maupun tulisan.
Opini dan hoaks sebenarnya sangat berbeda. Opini adalah pendapat subjektif seseorang terhadap sesuatu. Subjektif tersebut bergantung darimana sudut pandang diambil, dan sejauh mana sudut pandang itu digali lebih dalam.
Contoh, muslimah berjilbab itu anggun. Atau, muslimah berjlbab itu tertutup. Atau, muslimah berjilbab itu sulit bergaul. Dan seterusnya. Sudut pandang yang berbeda itu menghasilkan opini yang berbeda. Tapi kalau ada yang berpendapat muslimah berjilbab itu pasti anti Pancasila, itu namanya hoaks.
Perbedaan sederhananya, opini berangkat dari fakta: muslimah berjilbab dengan berbagai sisinya. Sementara hoaks berangkat dari ilusi atau sesuatu yang tidak ada tapi diada-adakan.
Contoh lain, ngaji itu belajar tentang Alquran. Atau, ngaji itu belajar tentang ibadah yang benar. Atau, ngaji itu belajar berakhlak yang baik. Kesimpulan-kesimpulan itu merupakan opini subjektif penulis tergantung pada sudut pandang yang ia ambil dan sejauh mana sudut pandang itu digali.
Berbeda jika menyimpulkan ngaji itu tindakan makar untuk menumbangkan pemerintah dengan berkedok agama. Ini merupakan hoaks. Karena didasari pada ilusi atau sesuatu yang tidak ada tapi diada-adakan.
Opini dan hoaks juga terlihat bukan saja dari objeknya. Melainkan dari siapa subjek yang mengeluarkannya. Contoh, kalau anak balita mengatakan 3 tambah 1 sama dengan 10, itu opini si balita. Tapi kalau yang mengatakan hal itu seorang guru matematika, itu namanya hoaks.
Jadi, salah dalam hasil penggalian opini yang didasari fakta boleh jadi tidak serta merta divonis hoaks. Hal tersebut tergantung pada kedalaman penggalian sudut pandang itu. Orang yang gagal menggali sudut pandang opininya hanya akan menjadi bahan tertawaan. Dan akan jauh sebagai bahan rujukan atau sumber informasi.
Opini atau hoaks juga bergantung pada niatan si penulis. Opini terlepas dari bagus atau dangkalnya tidak akan diniatkan sebagai upaya manipulasi. Sementara hoaks, sejak awal memang sudah diniatkan sebagai tindak kejahatan.
Dalam hal ini, penulis opini kalau pun terjebak pada informasi yang salah, hal itu di luar kesadarannya. Jika diluruskan, ia akan cepat melakukan koreksi dan menyampaikan permohonan maaf. Tapi penulis hoaks, ia akan segera bersembunyi di balik identitas palsu karena sadar betul apa yang ditulisnya adalah kebohongan.
Di luar itu, penulis muslim hendaknya memperhatikan nilai-nilai akhlak agar opininya tidak terjebak pada produk hoaks, disengaja atau tidak. Nilai-nilai tersebut antara lain:
Pertama, cek dan cek lagi sumbernya. Hal ini didasari pada firman Allah swt., ‘Hai orang-orang beriman jika datang kepadamu orang fasik dengan membawa kabar maka tabayunlah (cek dan cek lagi)…’
Orang fasik itu lalai, tidak bisa dipercaya, motifnya cenderung buruk. Karena itu, sumber yang berasal dari mereka dianggap tidak ada kecuali setelah terbukti kebenarannya.
Saat ini, upaya seperti itu tergolong sangat sulit. Karena sumber informasi yang sejak awal diniatkan sebagai tindakan manipulasi akan disamarkan identitasnya. Bahkan, ada upaya pemalsuan dengan teknik yang nyaris tidak bisa dibedakan asli atau palsu.
Selain itu, saat ini belum ada lembaga yang bisa dijadikan rujukan apakah informasi itu memang benar atau hoaks. Kalau pun ada, aksesnya belum secepat arus hoaks yang tersebar.
Kedua, dasar menulis opini adalah posisi adil di antara pro kontra. Hal ini didasari pada firman Allah swt., ‘Janganlah kebencian kamu kepada suatu kaum menjadikan kamu tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.’
Berada pada posisi adil, menjadikan penulis bisa melihat pro kontra secara jernih. Kebenaran yang ada di pihak lawan adalah kebenaran dan tidak berubah menjadi kesalahan. Begitu pun sebaliknya, kesalahan di pihak kawan tetap sebagai kesalahan dan tidak berubah menjadi kebenaran.
Bahasa adil dalam hal ini adalah objektif. Dengan berpegang pada objektivitas, nalar bisa mengalahkan rasa. Bahwa, 1 tambah 3 sama dengan 4. Dan tidak termanipulasi menjadi 10.
Opini selamanya tidak akan menjadi hoaks. Butuh ketelitian dan objektivitas penulis agar opini memang sebagai opini. Begitu pun dari sisi aparat, menganggap sama rata opini dengan hoaks hanya akan memandulkan kecerdasan publik untuk ikut berempati dalam bentuk gagasan dan solusi. (Mh)