ChanelMuslim.com- Penerapan ‘new normal’ mulai diterapkan di hampir semua kota besar di Indonesia. Meskipun, belum semua akses publik dibuka normal seperti sebelum PSBB. Masih ada tambahan kata ‘transisi’.
Meski begitu, padatnya penumpang kendaraan umum, macetnya jalan-jalan di ibu kota, ramainya tempat-tempat umum seperti pasar; nyaris sudah seperti benar-benar normal. Hanya bedanya, kali ini orang mengenakan masker dan adanya antrean orang di beberapa tempat tertentu.
Di sisi lain, awal ‘new normal’ yang dimulai awal pekan ini justru memperlihatkan fenomena lain yang memprihatinkan. Sejak Selasa dan Rabu kemarin; kenaikan angka penularan mengalami rekor baru. Pada Selasa terjadi kenaikan 1.043 dan Rabu naik lagi menjadi 1.241.
Kenaikan tertinggi terjadi di Jawa Timur mencapai 273, Sulawesi Selatan 189, Jakarta 157, Jawa Tengah 139, dan Kalsel 127.
Meskipun, Gugus Tugas Covid-19 menjelaskan bahwa kenaikan itu karena adanya upaya agresif daerah-daerah untuk melakukan tracing atau pelacakan melalui Rapid Tes dan PCR dengan jumlah massa besar.
Tapi tetap saja, angka-angka itu menunjukkan bahwa jumlah yang terjangkit masih tetap banyak. Dan, mereka yang terjangkit itu masih berkeliaran di tempat umum.
Lalu, apa artinya ‘new normal’ jika angka-angka itu menunjukkan masih belum aman. Jika merujuk pada protokol WHO, ‘new normal’ diterapkan ketika angka penularan menurun, atau setidaknya menunjukkan grafik landai.
Inilah mungkin gaya ‘new normal’ khas Indonesia. Di mana dasar perhitungannya bukan sekadar pada angka-angka kesehatan, melainkan juga pada angka keadaan ekonomi negara yang sangat memprihatinkan.
Selama tiga bulan ini, defisit anggaran terus menganga lebar. Sektor pariwisata hilang hingga 90 persen, pajak yang tumbuh negatif, konsumsi masyarakat yang turun drastis, penerbangan nyaris lumpuh bahkan ada pesawat yang terpaksa terbang hanya dengan 4 penumpang, dan lain-lain.
Sejalan dengan ketidakmampuan pemerintah dalam pembiayaan, ekonomi rakyat pun mengalami ‘mati suri’. Asosiasi pengusaha Indonesia sudah menjerit kalau daya tahan mereka hanya sampai bulan Juni. Belum lagi keadaan UMKM yang daya tahan maksimalnya hanya satu bulan.
Keadaan ekonomi inilah yang akhirnya menyeret bangsa ini pada dua dilemma: pilih sakit atau melarat. Dua-duanya serba tidak enak. Pilih sakit berarti mati, dan melarat pun lama-lama juga mati.
Hal ini berbeda dengan keadaan ekonomi negara lain yang daya tahannya cukup mapan. Korea Selatan misalnya, dengan jumlah penduduk yang sama dengan Jawa Barat, anggaran di Jawa Barat hanya 1 persen anggaran negeri ginseng ini.
Jadi secara sadar, sepertinya para pemimpin negeri ini memahami bahwa ‘new normal’ ala Indonesia akan berdampak besar bagi kenaikan angka penularan. Hal itulah mungkin yang ingin disampaikan Presiden Jokowi tentang kewaspadaan adanya gelombang kedua Covid-19.
Namun, gelombang kedua, ketiga, dan seterusnya ini memang tidak akan bisa dihindari dengan keadaan riil negeri ini. Yang bisa diusahakan adalah menurunkan angka tertinggi gelombang kedua, dan turun lagi di gelombang ketiga, dan seterusnya hingga menuju landai. Walaupun, ini merupakan kerja keras yang luar biasa, hingga ditemukannya obat dan vaksin virus ini.
Jadi, selamat menempuh ‘new normal’. Meski ada kemungkinan akan sakit, tapi setidaknya kantong tidak lagi kempes. (Mh)