ChanelMuslim.com- Waktu adalah proses. Butuh waktu untuk membentuk sesuatu. Terlebih yang dibentuk adalah hati. Perlu kesabaran, keuletan, baik sangka, dan percaya diri.
Berinteraksi dengan orang-orang yang dicintai tak ubahnya seperti upaya keras untuk membentuk hati. Terhadap apa pun dan siapa pun. Seperti, pasangan suami istri yang baru mulai mengukir hati, setelah sebelumnya tak kenal sama sekali.
Muda-mudi yang terkontaminasi gaya hidup Barat, acapkali hanya memahami bahwa cinta suami istri harus dibangun sebelum mahligai rumah tangga. Begitu banyak istilah yang dikemas menarik. Misalnya, penjajakan, pedekate, jadian, hingga pacaran Islami.
Mereka beralasan, membangun rumah tangga itu bukan kerjaan asal-asalan. Harus sama-sama menyetel diri agar saat cocokan sudah saling pas. Dengan begitu, rumah tangga yang terbentuk nanti tidak dimulai dari nol. Tapi, hanya melanjutkan dan memantapkan apa yang sudah dirintis.
Karena kalau tidak satu setelan, sementara status sudah suami istri, akibatnya bisa fatal. Mungkin bisa langsung cerai, atau menjadi pasangan sandiwara: pura-pura menyatu padahal masing-masing punya cantolan sendiri.
Argumen itu sepintas memang bisa dibenarkan. Masuk akal dan akhirnya menjadi keyakinan yang harus dipegang dan diperjuangkan. Sayangnya, tidak berdiri di atas bimbingan Ilahi. Karena orang Barat, sudah sekian lama menganggap bahwa Tuhan sudah tidak ada.
Apa yang terjadi? Alih-alih mendapatkan kecocokan setelah sekian lama berpacaran, yang didapat malah permainan semu syahwat saja. Kenapa?
Ketika dua insan berlainan jenis bertemu dan melakoni interaksi yang intens, terjadi dua sisi yang terus berperang dan saling mengalahkan. Yang pertama adalah cinta yang berasal dari ketulusan hati, dan kedua adalah tarikan nafsu syahwat yang digelorakan setan.
Keduanya tidak menyadari, mana yang menggerakkan sesungguhnya: ketulusan cinta, atau kamuflase syahwat yang dikemas setan sedemikian apik dan indahnya. Kamuflase itu berkembang luar biasa bersamaan dengan intensitas pandangan, sentuhan, rayuan, dan godaan.
Saat itu, keduanya seperti anak kecil yang berada di ruangan penuh permen. Coba yang satu, ingin yang lain. Coba yang lain, ingin yang berikutnya. Tidak pernah ada kepuasan. Setelah itu, yang datang justru penyesalan.
Dan, siklus pun terjadi lagi untuk sandiwara berikutnya. Terus berada dalam bayang-bayang kebohongan, setidaknya kesemuan yang menipu.
Bagaimana jika akhirnya berhasil memasuki jenjang pernikahan, terwujudkah mahligai rumah tangga yang saling cocok dan mengkhilaskan?
Untuk menjawab ini, rasanya tak perlu membuat teori-teori yang jelimet. Lihat saja para pejuang konsep ini di kehidupan mereka di Barat sana. Seperti itukah rumah tangga mereka: suami istri yang saling mencintai, dan anak-anak keturunan yang membahagiakan?
Alih-alih bisa menyaksikan keharmonisan rumah tangga dalam potret umum kehidupan mereka, yang terjadi justru sebaliknya. Sebagian besar warga Barat merasa tidak perlu adanya lembaga rumah tangga. Tanpa ikatan pernikahan, mereka bisa bongkar pasang jalinan cinta kepada pasangan baru sekendak nafsu mereka.
Bagaimana dengan sosok anak? Sebagian besar mereka menganggap bahwa anak hanya beban, bahkan perusak cinta pria wanita. Mereka lebih suka memelihara anjing daripada membesarkan anak. Menurut mereka, anjing jauh lebih setia daripada anak-anak mereka.
Mereka tidak menyadari bahwa suatu saat jatah usia mereka akan berakhir. Kalau pria wanita yang hidup bersama berada di ujung usia tanpa anak, siapa yang akan meneruskan aset mereka? Dan yang lebih luas lagi, siapa yang akan menjadi penerus bangsa mereka.
Kegelisahan itu sudah dirasakan bahkan disuarakan oleh pemimpin-pemimpin mereka. Siapa yang rela melahirkan dan membesarkan bayi akan mendapatkan hadiah dari negara. Tapi, hal itu sudah tidak lagi menarik untuk mereka.
Dunia nyata jauh lebih baik dari sekadar sandiwara
Mengawali bangunan cinta pria wanita melalui mahligai rumah tangga adalah proses nyata yang jelas kemana arahnya. Cinta yang lahir meski berawal kecil tak ubahnya seperti benih milik sendiri yang ditanam, disiram, dipupuk, dan dijaga.
Waktu mengiringi proses tumbuhnya cinta menjadi satu kesatuan dalam hidup nyata. Bukan gombal menggombal, bukan tipuan pencitraan, dan bukan permainan kedok rayuan dan godaan.
Sebagian yang ragu berkomentar, seperti beli kucing dalam karung dong? Tekad hidup berumah tangga meski tak diawali saling kenal seperti proses pacaran, sama sekali tak identik dengan beli kucing dalam karung. Karena yang dinikahi bukan kucing, melainkan pria atau wanita yang sudah memiliki idealisme, cita-cita, dan tekad yang sama.
Tidak ada gombang menggombal dan tipu-tipuan di pilihan ini. Semua nyata. Cinta dilahirkan, diucapkan, dan langsung bisa dibuktikan tanpa hanya bolak-balik melihat dan menyentuh kemasannya saja.
Perkenalan pun melalui proses yang benar-benar alami. Dua insan bisa memahami pasangannya apa adanya, tanpa polesan dan pencitraan. Bisa mengenal langsung saat sudah mandi dan sebelumnya. Bisa tahu langsung saat dia sedang lapar atau kenyang. Bisa lihat langsung saat sebelum tidur atau ketika sedang mendengkur. Dan bisa mengukur langsung secara nyata potensi dan kelemahan pasangan kita.
Bagaimana kalau tidak ada kecocokan, bukankah itu bisa berakibat fatal? Inilah pemikiran sesat yang dihembuskan Barat dengan tanpa ilmu dan bimbingan Ilahi. Mereka menganggap fatal ketika pasangan gagal melanjutkan rumah tangga. Tapi menganggap biasa ketika pacaran tak berujung kemana-mana.
Mana yang akhirnya lebih fatal, pisah dengan beroleh anak dari hasil pernikahan atau pisah dengan punya anak dari tanpa pernikahan? Anak dari hasil ayah ibu yang pisah karena pernikahan memiliki status jelas: siapa ayahnya dan siapa ibunya, meski keduanya telah pisah. Tapi, anak dari hasil pacaran tak memiliki kejelasan: ayahnya siapa dan statusnya apa. Meskipun si wanita tahu siapa yang telah menghamilinya. Anak ini tak memiliki garis keturunan untuk selamanya.
Butuh Waktu Membentuk Hati
Episod selanjutnya adalah bagaimana merajut benang-benang kasih dan sayang dalam pernikahan untuk bisa memperoleh bentukan hati seperti yang diinginkan. Hati yang saling membelah untuk membentuk satu kesatuan antara dua insan. Insya Allah. (Mh)