KETAHANAN keluarga di tengah wabah. Iman begitu terasa saat kita berhadapan dengan apa yang tak disukai. Ujian, cobaan dan termasuk wabah di dalamnya.
Begitupun keluarga, keluarga akan terasa bermakna memberi ketahanan saat musibah itu ada.
Ustaz Umar Hidayat, M.Ag. menuliskan bahwa adakalanya mendengar kata wabah membuat seseorang depresi jiwanya, serba salah dan salah tingkah. Tak salah bila ada yang merasa bahwa wabah akan mengubah segalanya.
Jika kita sendiri tidak paham atasnya dan tidak mampu mencari solusi yang tepat atasnya. Nah, bagaimana peran dan kintribusi keluarga dalam memberikan solusi yang tepat dalam menghadapi wabah yang menyapa?
Stay at home. Istilah ini bukan sekadar tiba-tiba muncul dan menjadi familiar bersebab musibah wabah covid-19. Jauh sebelum itu sudah ada.
Hanya dalam konteks kekinian, masyarakat diminta turut melakukan pencegahan melalui social distancing (menjaga jarak dari keramaian dan berdiam diri di rumah);
menjadi trendsetter dan sekaligus salah satu solusi memutuskan mata rantai penyebaran virus covid-19. Langkah ini diambil sebagai bagian mitigasi kesehatan untuk keselamatan hidup banyak orang.
Back to home. Betapa pun jarak sedemikian jauh, pagi berangkat kerja meninggalkan rumah, bahkan adanya LDM, sore atau beberapa waktu, bahkan ada yang beberapa hari kemudian kembali ke rumah.
Bagaimana pun rumah adalah tempat yang tak bisa dilupakan karena ia begitu dekat di jiwa. Ada kedekatan (baca; kelekatan) antara jiwa, rumah dan keluarga.
“Dan hendaklah kamu tetap dirumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu” (Qs. Al Ahzab: 33).
Baca Juga: Memahami Tantangan Ketahanan Sosial Keluarga
Ketahanan Keluarga di Tengah Wabah
Setidaknya rumah adalah tempat di mana hati kita berada, menghadirkan perasaan nyanan, tentram dan bahagia.
Bagaimana menghadirkan rumah sebagai sumber ketenangan dan ketentraman yang tidak akan diperoleh dalam hiruk pikuknya kehidupan sehari-hari.
Seperti pesan Allah Subhanahu wa taala dalam firman-Nya; “Dan sesungguhnya Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal.” (Qs. An-Nahl : 80).
Rumah yang dirindukan dan “mbetahi”.
Itulah rahasianya kenapa Nabi mengungkapkan “bayti jannati”, rumahku surgaku. Itulah rumah yang, pertama, memberi ketenangan dan nyamannya hati.
Dan ketentraman dan ketenangan jiwa itu, hanya akan ditemui dengan satu-satunya jalan, “Alaa bi dzikrillahi tathmainnul quluub” (QS ar-Ra’ d{13}: 28).
Dengan kata lain rumah tangga yang dibangun tanpa mengingat Allah, tanpa mengenal Allah, tidak taat Allah, maka demi Allah, sehebat apapun harta yang ada, setinggi apapun kedudukan anggota keluarganya, semelimpah apapun kekayaan mereka, sehebat apapun kekuasaannya, tidak akan pernah bisa membeli ketentraman jiwa.
Di antara cara yang ditempuh secara praktis adalah dengan hadirkan membaca Al Qur’an di dalam rumah.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya barang siapa yang dalam dirinya tiada bacaan alquran maka ia seperti halnya rumah yang roboh”.
Kedua, kunci membangun rumah tangga yang bisa menjaga dan melaksanakan hak dan kewajiban setiap anggota keluarga.
Ketika semua anggota keluarga melaksanakan hak dan kewajiban maka rumah akan menjadi tentram.
Ketiga, seluruh anggota keluarga yang meliputi suami, istri anak-anak dan anggota yang lain saling berlomba-lomba dalam kebaikan untuk mewujudkan surga dunia dan akhirat.
Keempat menciptakan kondisi yang mampu melekatkan jiwa semua anggota keluarga. Apa yang harus kita lakukan?
“Ada empat di antara kebahagiaan : istri yang sholihah (baik), tempat tinggal yang luas, tetangga yang sholih (baik), dan kendaraan yang nyaman.
Ada empat kesengsaraan: tetangga yang buruk, istri yang buruk, rumah yang sempit, dan kendaraan yang buruk”. [HR. Ibnu Hibban dalam Shohih-nya (no. 4032).
Kelekatan bisa dipahami bahwa dalam keluarga ada ikatan kasih sayang dari seseorang terhadap pribadi lain (Alish, 1998).
Setiap anggota keluarga memiliki kedekatan secara emosional. Ketika seseorang memiliki lekat dengan orang lain, ia akan mendapatkan aman, terlindungi, dan terpenuhi kebutuhan afeksinya.
Dalam pola kelekatan yang aman, anak merasa bahwa orang tua adalah figur pendamping yang sensitif, responsif, penuh cinta, serta selalu siap membantu dalam situasi yang menakutkan mengancam.
Nah, sampai di sini siapa pun akan merasa betah di rumah. Bahkan bukan saja soal betah di rumah, tetapi keletakan juga menjadi dasar pertumbuhan individu pada setiap masa perkembangannya.
Jika rumahnya memiliki konsep bayti jannati. Rumah yang mencerminkan kukuhnya ketahanan keluarga.
Rumah yang seperti inilah yang menjadi solutif isolasi (stay at home) dalam menghadapi wabah covid-19.
Tidak hanya berdiam diri di rumah, tetapi rumah yang ramah anak, rumah yang ramah remaja dan dewasa. Rumah yang kreatif, dinamis dan produktif. Dirindukan dan tidak membosankan.
Semoga ketahanan keluarga Sahabat Muslim bisa terwujud meskipun di tengah wabah.[ind]