INTRIK itu perilaku para politisi untuk menjatuhkan pihak lawan. Bagaimana jika yang menjadi korban merupakan orang soleh?
Ada kisah tragis yang dialami salah seorang cucu kesayangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma.
Setelah ayahandanya meninggal dunia, kaum muslimin bersepakat untuk mengangkat Hasan menjadi khalifah. Beliau pun menerima amanat berat itu. Saat itu usianya sekitar 39 tahun.
Kehidupan politik saat itu dipenuhi intrik-intrik untuk merebut jabatan khalifah. Suasana itu sepertinya begitu jelas ditangkap Hasan. Yang beliau pikirkan hanya satu: jangan sampai umat pecah hanya karena kekuasaan.
Di masa dukungan yang besar itu, tiba-tiba Hasan bin Ali mengundurkan diri. Ia hanya menjabat sebagai khalifah sekitar 7 bulan. Beliau mundur demi menjaga tetap bersatunya umat Islam.
Meski sudah tidak menjabat khalifah, lawan-lawan politiknya sepertinya begitu khawatir dengan sosok cucu Rasulullah ini. Selain karena masih sangat muda, Hasan bin Ali begitu bijaksana, arif, dan selalu mengutamakan umat dari dirinya sendiri.
Karena itu, siasat busuk pun dialamatkan kepada beliau. Hasan bin Ali diracun oleh seseorang melalui makanan atau minuman.
Beliau mengatakan, “Aku sering mengalami keracunan. Tapi, racun kali ini begitu dahsyat.”
Adik beliau, Husein bin Ali radhiyallahu ‘anhuma datang menjenguk. Ia bersikeras menanyakan tentang siapa pelakunya. Tapi Hasan tetap bungkam.
Sekali lagi Hasan menegaskan bahwa tak ingin akan terjadinya permusuhan sesama umat Islam. Dan beliau pun akhirnya wafat di usia sekitar 45 tahun.
Siapa pelakunya?
Tentang hal ini, para ahli sejarah, baik dari kalangan sunni maupun syi’ah, sepertinya memiliki kesimpulan yang sama tentang siapa pelakunya. Terduga kuat pelakunya adalah salah seorang istri Hasan bin Ali sendiri. Yaitu, Ja’dah binti Asy’ats bin Qais.
Motifnya, Ja’dah ditawari oleh lawan politik Hasan bin Ali akan dinikahi jika berhasil melancarkan aksinya. Tapi sekali lagi, Hasan bin Ali tidak pernah menyebut siapa pelakunya.
Setelah Hasan bin Ali mengundurkan diri, maka kekhalifahan beralih ke Muawiyah bin Abu Sufyan. Dan sejak itu, kekhalifahan dilakukan secara turun temurun atau kerajaan.
**
Inilah di antara fitnah pertama kekuasaan di masa awal berkembangnya Islam. Sedemikian rumitnya fitnah kekuasaan itu, bahkan ada dugaan keterlibatan seorang anggota keluarga.
Sebuah adagium politik kekuasaan memang terlanjur dipegang orang banyak: tidak ada teman abadi, tidak ada musuh abadi, yang ada kepentingan abadi.
Padahal dalam hidup ini, kekuasaan bukan segalanya. Karena itu, jangan korbankan segalanya demi hanya sebuah kekuasaan. [Mh]
