HINAAN dan celaan bisa datang dari mana saja: dari atas, samping, dan bawah. Jangankan orang biasa saja, sosok mulia pun tak luput dari hinaan dan celaan.
Salah seorang cucu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terkenal memiliki sifat sabar, bijak, dan arif menyikapi hinaan dan celaan. Beliau adalah Hasan bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma.
Beliau lahir pada tahun 625 masehi, atau sekitar 2 tahun setelah peristiwa hijrah dari Mekah ke Madinah. Beliau lahir ketika usia kakeknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berusia 55 tahun. Ada kurang lebih 7 hingga 8 tahun, Hasan berinteraksi dengan kakek tercinta.
Masa-masa fitnah umat Islam marak terjadi di saat ayahnya, Ali bin Abi Thalib diangkat sebagai khalifah menggantikan Usman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Karena di saat yang sama ada tokoh lain yang juga mengklaim sebagai khalifah, yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan.
Konflik terbuka pun tak terhindari. Bahkan, begitu banyak nyawa yang gugur karena adanya dualisme kekhalifahan ini. Termasuk yang juga menjadi korban adalah Hasan bin Ali. Begitu pun dengan Husain.
Termasuk yang ikut gugur sebagai syuhada adalah sang khalifah sendiri, yaitu Ali bin Abi Thalib. Beliau dibunuh saat menunaikan shalat.
Umat Islam saat itu sebagiannya bersepakat untuk mengangkat Hasan sebagai pengganti ayahnya. Ia pun resmi menjadi Khalifah di Bulan Januari tahun ke-41 Hijriyah.
Sayangnya, cucu Nabi ini hanya bersedia menjadi khalifah sekitar 6 bulan. Hal itu terjadi setelah pihak Muawiyah mengerahkan pasukan untuk meminta Hasan turun dari jabatan.
Akibatnya, begitu banyak orang yang menghinanya. Macam-macam hinaan, baik langsung maupun tidak langsung ia rasakan. Ia dituduh penakut, dituduh pengkhianat, dan lainnya.
Salah seorang sahabat Nabi bernama Jubair bin Nafir mengkomfirmasi langsung ke Hasan atas pengunduran dirinya.
Hasan mengatakan, “Aku bukan orang yang rela menghinakan kaum muslimin. Aku tidak mau kalian saling membunuh hanya karena berebut kekuasaan.”
Hinaan datang bukan hanya dari yang dahulunya mendukung Hasan, terlebih lagi dari yang sebelumnya memang memusuhi Hasan dan Ali bin Abi Thalib.
Ada seorang pejabat dari pihak di luar Hasan yang menghinanya sangat luar biasa. Ia bernama Marwan bin Hakam. Di setiap pidatonya, ia selalu menghina Hasan dan Ali.
Bahkan, ia mengutus orang secara khusus untuk disampaikan kepada Hasan bin Ali. Isi pesan itu berupa hinaan. Sebuah hinaan yang disampaikan secara resmi dari seorang pejabat kepada mantan pejabat.
Hasan menjawab hinaan itu, juga secara resmi, “Silakan kembali kepada atasanmu. Sampaikan bahwa aku tidak akan membalas pesannya. Biarlah Allah yang akan membalasnya.”
Beberapa tahun kemudian, Hasan bin Ali dikabarkan meninggal dunia secara ‘tidak wajar’. Ia diduga diracun oleh orang dekatnya atas suruhan penguasa yang tidak suka dengannya.
Cucu tersayang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ini wafat di usia 45 tahun. Para sahabat Nabi menyaksikan bahwa Hasan tidak pernah marah, membalas hinaan, dan sebagainya. Bahkan, sejarah mencatat, ia rela mundur sebagai khalifah demi persatuan umat Islam.
Sebagian ulama dan ahli sejarah memasukkan kekhalifahan Hasan bin Ali yang hanya beberapa bulan ini sebagai Khulafaur Rasyidin, penerus kekhalifahan Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali radhiyallahu ‘anhum.
**
Jangan pernah menganggap bahwa menjadi orang baik akan terbebas dari hinaan dan cacian. Sebaliknya, semakin baik seseorang, semakin berat ujiannya. Dan ujian itu antara lain datangnya berbagai hinaan. Langsung maupun tidak.
Bahkan manusia paling mulia pun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tak luput dari hinaan dan cacian hingga saat ini. Dan Nabi telah meneladani kita bagaimana menyikapi semua hinaan itu.
Jangan pernah ‘kapok’ menjadi orang baik karena banyaknya hinaan. Bersabarlah, karena memang itulah ujiannya. [Mh]