SYARI’ MUIZ, sepotong senja yang sempurna, ditulis oleh Uttiek Herlambang yang diunggah di akun Instagram @uttiek.herlambang, Selasa (3/2/2024).
Langit memerah. Cahaya matahari perlahan lindap. Tembok-tembok batu, minaret, teralis besi, terlihat kokoh menjulang dan menyisakan pemandangan dramatis yang indah sekali.
Saya rapatkan jaket sambil terus melangkah perlahan. Menikmati indahnya senja dan setiap jengkal kota tua Syari’ Muiz.
Ini adalah salah satu spot favorit saya di Kairo. Sebuah komplek kota tua yang penuh jejak sejarah. Masuk dari Bab Al Futuh dan keluar dari Bab Zuweila, kita akan disuguhi pemandangan memesona.
Dari area ini pun, kita juga tersambung dengan pasar kuno Khan El Khalili dan Masjid Agung Al Azhar.
Awalnya ini adalah kota baru yang dibangun dinasti Fatimiyah pada 970 M di bawah komando Panglima Jawhar Al Siqilli.
Kota ini diberi nama “Al Mu’izziyya Al Qaahirah” yang berarti kota kemenangan Al Mu’izz, nama penguasa pada waktu itu.
Dari sinilah nama Qaahirah yang kemudian dilafalkan sebagai Cairo atau Kairo berasal.
baca juga: Assalamualaikum Kairo
Syar’i Muiz: Sepotong Senja yang Sempurna
Sebagai bekas pusat kota, banyak bangunan bersejarah yang masih bisa kita saksikan hingga hari ini, seperti Complex of Qalawun yang dibangun pada 1285 M.
Masjid Muayyad pada 1420 M, menariknya di dekat masjid ada bimaristan alias rumah sakit. Masih terlihat bangunan yang dulunya adalah bekas kamar-kamar yang ditempati pasien.
Dan, bangunan bersejarah yang selalu saya cari adalah madrasah, karena menunjukkan tingginya peradaban keilmuan yang dimiliki.
Di tempat ini pun ada banyak bekas madrasah. Seperti Madrasah Salih Al Ayyub dari daulah Ayyubiyah, Madrasah Sultan Qalawun, dan yang terbesar adalah Madrasah Al Nasr Muhammad.
Saya mempunyai kenangan yang tak terlupakan di tempat ini.
Sultan Nasr Muhammad adalah sultan Mamluk yang dinilai paling berhasil pemerintahannya.
Di bawah kekuasaannya, daulah Mamluk tak hanya kuat secara militer, namun juga mapan secara ekonomi, dan maju di bidang keilmuan.
Kalau ke Syari’ Muiz, jangan lupa mencicipi jajanan tradisional Mesir yang banyak dijual di tempat ini, namun sulit ditemukan di tempat lain. Namanya zalabiya. Semacam bola-bola ubi, yang kalau di Solo namanya klenyem. Satu porsi kecil dihargai 20 Le (tak sampai Rp7.000), namun kalau memakai aneka topping, harganya jadi 30 Le (Rp10.000).
Sambil menikmati zalabiya dan menyesap secangkir teh panas, saya membaca lembar demi lembar karya Mustafa Lutfi Al Manfaluthi, sastrawan besar dari Mesir yang karyanya banyak menginspirasi Buya Hamka.
Sungguh, senja yang sempurna!
Kairo, 3/12/2024.[ind]
View this post on Instagram