AGAMA itu seperti raja dalam diri seseorang. Jika ia baik, baik semuanya. Begitu pun sebaliknya.
Di sebuah masa di kawasan Persia ada seorang tokoh yang hidupnya sempurna. Namanya Nuh bin Maryam. Ia alim, pejabat hakim, kaya, dan punya istri dan anak gadis yang solehah.
Putrinya sudah waktunya menikah. Usianya cukup, solehah, dan cantik. Tapi, sang tokoh ini belum sreg dengan seorang pun.
Di sebuah kebun anggurnya yang luas, Nuh bin Maryam mempekerjakan seorang budak dari India. Namanya Mubarak. Ia mengamanahkan Mubarak untuk menjaga dan merawat kebun anggurnya.
Suatu hari, ia datang berkunjung ke kebun itu. Ia meminta Mubarak untuk dipetikkan anggur yang manis. Tapi, anggur yang ia coba rasanya asam.
Ia meminta dipetikkan jenis anggur lain yang manis. Lagi-lagi, anggur yang dibawakan rasanya asam. Begitu seterusnya.
Nuh bin Maryam merasa heran dengan budaknya itu. Sudah begitu lama ia bekerja tapi tidak tahu mana anggur yang manis.
“Kenapa kamu tidak tahu mana anggur di kebun ini yang manis?” tanyanya.
“Maaf Tuan, Anda mengamanahkan saya untuk menjaga dan merawat kebun anggur ini. Tapi Anda tidak mengamanahkan saya untuk boleh mencicipinya,” ungkap Mubarak.
Deg. Nuh bin Maryam terperanjat dengan jawaban itu. Betapa amanahnya anak muda ini.
Ia mencoba berdiskusi dengan Mubarak untuk melihat seperti apa wawasan agamanya.
“Menurutmu, seperti apakah calon suami yang baik untuk seorang gadis?” tanyanya lagi.
Mubarak menjelaskan dengan lugas. Menurutnya, di masa kafir Quraisy, orang mencari calon suami yang berasal dari keturunan para pembesar.
Orang-orang Yahudi mencari calon untuk suami dari sisi rupa dan fisiknya. Di masa Rasulullah, orang mencalon untuk suami anaknya yang bagus agamanya.
“Namun, itu masa lalu. Kini zaman sudah berubah. Kriterianya terserah pada Anda, Tuanku,” pungkas Mubarak.
Wow, sebuah wawasan yang luar biasa untuk seorang budak. Nuh bin Maryam semakin tertarik.
“Menurutmu, bagaimana jika aku jodohkan dirimu dengan putriku?” tanyanya to the point.
Mubarak agak sungkan menjawabnya. “Tuanku, bagaimana mungkin aku yang berkulit hitam ini layak menjadi suami putri Anda?” ucapnya.
Pertanyaan itu tidak dijawab Nuh bin Maryam. “Baiklah, mari ikut aku!” katanya sambil mengajak Mubarak ikut ke rumah tuannya.
Di ruangan terpisah, Nuh bin Maryam berdiskusi dengan istrinya. Ia ceritakan tentang Mubarak dan keinginannya untuk menikahkan Mubarak dengan putri mereka. Istrinya menyerahkan semuanya kepada suaminya.
Nuh bin Maryam pun berdiskusi lagi dengan putrinya. Putrinya menjawab, “Aku selalu mengikuti apa yang ayah dan ibu inginkan untukku.”
Singkat cerita, pernikahan luar biasa itu pun berlangsung. Seorang budak dinikahkan tuannya dengan putri tuannya. Dengan satu alasan: karena kesolehannya.
Allah subhanahu wata’ala memberkahi pernikahan itu. Lahir dari pasangan soleh dan solehah itu seorang ulama besar yang tercatat dalam sejarah sebagai ulama hadis. Beliau adalah Abdullah bin Mubarak, yang merupakan salah seorang guru Imam Bukhari. (Kitab at-Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk oleh Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali)
**
Tak ada kekayaan yang paling berharga dimiliki seseorang kecuali kesolehannya. Kesolehannya menjadi penuntun dan penjaga hidup dan keluarganya dan menjadi bekal utama kematiannya.
Semua tentang duniawi seseorang akan berpisah pada waktunya. Pilihlah karena kesolehannya, kalian akan beruntung selamanya. [Mh]