PANGGILAN dirasakan seperti sebuah kemuliaan, sebagiannya lagi kerendahan.
Nana dan Nani tampak belum menemukan kesepakatan tentang panggilan. Siapa yang pantas dipanggil kakak dan siapa yang adik.
Sepertinya, dua anak kembar ini sedang memperebutkan panggilan di antara mereka.
“Kamu yang harus panggil aku kakak. Kan, aku lahir duluan,” ucap Nana kepada Nani.
“Yah, bedanya kan hanya sepuluh menit,” sergah Nani menimpali.
“Jadi, kamu mau panggil aku apa kalau nggak mau nyebut kakak?” ucap Nana lagi agak kesal.
“Kita nggak perlu panggil kakak atau adik. Panggil nama aja,” jawab Nani.
Tapi, Nana masih belum puas. Dan ia pun menceritakan ini kepada ibunya.
“Anakku, ada yang salah kamu pahami tentang panggilan,” ucap sang ibu mengawali jawaban.
“Maksud ibu?” sahut Nani, ingin tahu.
“Panggilan itu sama sekali bukan tentang kemuliaan. Sebaliknya, panggilan itu menunjukkan beban. Kakak itu punya beban melindungi dan menjaga adik, sebagaimana ayah yang mencari nafkah, dan ibu yang mengurus kalian,” ungkap sang ibu.
“Nah, sekarang siapa yang mau dipanggil sebagai kakak?” lanjut sang ibu.
Kali ini, Nana dan Nani hanya terdiam. Sepertinya, keduanya tak tertarik lagi untuk dipanggil sebagai kakak.
**
Sekiranya semua orang memahami betul bahwa jabatan, ketokohan, keilmuan, dan kekayaan itu amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah; rasanya tak banyak yang ingin disebut pejabat, tokoh, ustaz, kiyai, orang kaya, dan lainnya.
Sepatutnya panggilan atau gelar menjadi pengingat beban amanah itu. Bukan sebaliknya, menjadi kemuliaan yang melenakan. [Mh]