MASA depan di tangan Islam, Al-Mustaqbal Li Hadza Ad-Din, oleh: Djoko P. Abdullah.
Francis Fukuyama, seorang akademisi sekaligus penasihat pemerintah Amerika Serikat benar-benar telah menggemparkan dunia politik Internasional.
Ketika awal tahun 1990-an mendeklarasikan telah berakhirnya sejarah. Dengan tegas dia menyatakan, bahwa hancurnya berkeping-keping Soviet dan ambruknya tembok Berlin adalah di antara sekian banyak pertanda signifikan.
Telah terjadinya perubahan dramatis pasca Perang Dingin yang mempresentasikan secara akurat kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal di seluruh dunia.
Dengan mendasarkan argumennya pada tulisan Kant, Hegel dan pembacaan kritis terhadap Marx, dia meramalkan, bahwa di penghujung sejarah umat manusia, tidak akan pernah lagi tersedia ruang bagi pertarungan antara ideologi besar.
Sejak publikasi pertamanya, The End of History and The Last Man, telah mengundang begitu banyak perdebatan pro-kontra.
Faktanya, lebih banyak lontaran gugatan dan kritikan dari hampir setiap sudut pandang. Buku ini disebut-sebut sebagai sebuah karya yang sangat optimistik sekaligus determinatik; fenomenal sekaligus kontroversial; ilmiah sekaligus provokatif walaupun dalam jumlah yang lebih sedikit, telah muncul sikap simpatik yang berusaha memahami sisi positif dari tesisnya ini.
Meskipun ia menggunakan kejadian yang sama, dunia pasca Perang Dingin yang dihadirkan Huntington pada tahun 1993, sangatlah berbeda.
Artikelnya di Foreign Affairs yang berjudul The Clash of Civilization, ia berpendapat bahwa hubungan internasional tidak akan ditandai oleh konsensus mengenai demokrasi liberal, namun oleh konflik antara seluruh peradaban, khususnya antara Islam dan Barat. Huntington berpendapat bahwa perbedaan besar dalam budaya dan agama akan mendorong abad ke-21 ke arah perang antara peradaban.
Stephen McGlinche merupakan ilmuwan politik yang krtiknya tidak kalah tajam. McGlinche dalam artikelnya yang berjudul Review-A Second Look at Huntington’s Wave Thesis menyatakan bahwa Huntington terlalu America oriented dan menganggap Amerika sebagai rujukan sekaligus model ideal demokrasi, padahal banyak negara demokratis lain yang juga berhasil bahkan mungkin lebih baik dari Amerika. Huntington juga dianggap menutup mata terhadap berbagai proses demokratisasi yang dipaksakan oleh negara lain, termasuk Amerika yang seringkali melakukan demi kepentingannya sendiri.
Baca juga: Kisah 3000 Tentara Salib yang Masuk Islam
Masa Depan di Tangan Islam
Kita ‘parkir’ pemikiran Fukuyama dan Huntington. Karena kita punya paradigma tersendiri tentang bagaimana mengelola demokrasi dalam bingkai etika dan moral.
Salah satu prinsip penting dalam Islam adalah syura atau musyawarah. Hal ini diabadikan di dalam Al-Qur’an Surah Ali Imran (3) ayat 159 dan Asy-Syura (42) ayat 38.
Di balik prinsip syura ini ada asas egalitarianisme atau kesamaan; asas rasionalitas dalam pengambilan keputusan; dan asas meritokrasi dalam memilih orang. Asas-asas inilah yang kemudian dijadikan fondasi dalam mengelola negara modern yang dilakukan beberapa negara saat ini.
Walaupun Barat mengklaim prinsip musyawarah dalam kehidupan bernegara -yang dikenal dengan nama demokrasi- yang dipraktikkannya kini bersumber dari masyarakat Yunani kuno.
Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri mereka telah meninggalkan bahkan melupakan sehingga membuat Barat terbenam dalam kegelapan sampai abad pertengahan. Mereka menyadari miliknya yang sangat berharga ini, setelah melihat kemajuan kekhilafahan Islam baik di Baghdad, Andalusia dan Turki. Mereka kemudian memungut kembali dan berusaha mengamalkannya dengan susah payah serta berdarah-darah menghadapi para penentangnya.
Di kemudian hari, prinsip-prinsip ini melahirkan era keemasan dan kejayaan, dimulai dari apa yang dikenal dengan Renaissance. Dunia Barat kemudian menjadi role model dan tujuan serta tempat belajar bangsa lain dalam sains, teknologi, ekonomi dan militer.
Demokrasi hanya sebuah nama yang isinya tentu sangat ditentukan oleh siapa yang menggunakannya. Di samping ruang dan waktu, sejarah dan budaya sebuah bangsa juga ikut mewarnainya.
Demokrasi memiliki kelemahan yang akut disebabkan hilangnya nilai-nilai spiritualitas dalam dirinya. Sekularisasi yang berhasil menggusur Tuhan dari Dunia Barat, berimplikasi terhadap hilangnya dimensi vertikal demokrasi, selanjutnya menyebabkan lepasnya etika dan moralitas dalam praktik demokrasi di banyak negara. Karena itu tanggung jawab sekaligus tugas umat Islam saat ini adalah bagaimana mengembalikan Tuhan dalam kehidupan berdemokrasi.
Abul A’la Al-Maududi dikenal sebagai Ulama, sekaligus Pemikir Islam abad 20. Digambarkan oleh Wilfred Cantwell Smith sebagai “The most systematic modern Islamic thinker” (pemikir Islam modern yang paling sistematis).
Ia percaya bahwa Islam punya landasan etika dan moral untuk kehidupan berdemokrasi.[ind]