MAAF memaafkan lazim di momen Idul Fitri. Meminta maaf itu sulit. Tapi, memaafkan jauh lebih sulit lagi.
Momen Idul Fitri, secara budaya, lazim menjadi ajang maaf memaafkan. Yang muda meminta maaf ke yang tua, dan yang tua menyambut dengan memaafkan. Begitu pun antar yang seusia.
Namun begitu, tak semua momen itu berjalan mulus. Seperti karat, ada kotoran yang begitu sulit dibersihkan. Kalau dibiarkan tak selesai, tapi jika dipaksakan akan terluka.
Inilah yang terjadi jika ada bekas ‘cacat’ antar personal. Dan menariknya, justru ‘cacat’ ini terjadi di kalangan orang-orang yang punya hubungan dekat.
Mungkin anak dan orang tua. Mungkin suami dan istri, kakak dan adik, antar tetangga sebelah, teman satu tim kerja, bos dan bawahan, dan lainnya.
Yang biasa menjadikan ‘cacat’ berkarat itu bukan sekadar kasusnya. Melainkan juga karena ketidaklazimannya. Karena lazimnya hubungan dekat adalah saling mencintai. Dan cinta yang tiba-tiba putus jauh lebih ‘sakit’ daripada hubungan biasa saja.
Masalah berlanjut ketika menelusuri siapa yang pantas meminta maaf. Jika pelaku awalnya tidak tervonis jelas, siapa yang meminta maaf dan memaafkan bergantung dari kesadaran.
Karena itulah kasus ini butuh waktu yang cukup lama. Waktu lambat-laun akhirnya mengurai ruwetnya kasus menjadi lebih jelas. Dan mereka yang lebih dulu meminta maaf memiliki kedewasaan dan kesadaran yang lebih baik.
Lain halnya jika pelaku awalnya jelas. Tapi, ia tidak mau minta maaf karena merasa tak perlu. Mungkin karena merasa kasusnya remeh. Remeh untuk dirinya, tapi tidak remeh untuk orang yang menjadi korban.
Contoh, kakak yang menuduh adiknya salah. Belakangan diketahui kalau sang adik tidak salah. Tapi sang kakak menganggap remeh. Ia tak merasa perlu minta maaf. Padahal, untuk sang adik, hal yang dianggap remeh itu terasa begitu berat.
Hubungan kekerabatan itu pun merenggang. Akhirnya sang kakak menyadari perlunya meminta maaf. Nah kini giliran sang adik, apakah ia mau memaafkan atau memanjakan ego merasa benarnya.
Dan memaafkan itu jauh lebih berat dari meminta maaf. Meskipun meminta maaf tidak bisa dianggap ringan. Butuh kesadaran dan kedewasaan diri.
Kenapa memaafkan menjadi lebih berat dari meminta maaf? Karena memaafkan itu datang dari orang yang dizalimi. Ia tidak salah, tapi tertuduh salah. Pukulannya dua kali: terzalimi dan tertuduh salah.
Dan ketika ia harus memaafkan, ia seperti memberikan dua hadiah kepada yang salah. Yaitu, melepas sakit hatinya, dan melepas kerugiannya.
Tidak heran jika orang yang mampu memaafkan, Allah masukkan sebagai kriteria mereka yang akan masuk surga.
“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang dan sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran: 134)
Nah, mau menjadi orang hebat yang dicintai Allah? Belajarlah untuk bisa memaafkan orang yang berbuat salah terhadap kita. [Mh]