SATU bus bersama Malaikat maut, cerpen ini ditulis oleh: Dian Kartika Sari dan diikutsertakan dalam Lomba Cerpen Ramadan ChanelMuslim.com.
Selepas maghrib, aku dan suami sudah bersiap duduk di bangku bus sesuai tiket.
Anakku yang baru berusia 1 tahun tampak nyaman duduk di pangkuanku menikmati camilannya.
Kami tak sabar untuk segera sampai di kampung halamanku, Lumajang.
Lalu, ada dua orang laki-laki menaiki bus, salah satunya adalah seorang kakek-kakek yang sudah kelihatan sangat sepuh.
‘Mbah Tua’ itu memakai sarung dan kemeja batik serta menggunakan peci. Jalannya tampak susah dan anak muda di sebelahnya kelihatan sangat kesulitan menuntun si Mbah ke bangku di bagian belakang bus.
Jam menunjukkan pukul 19.00 WIB, kernet bus menutup pintu depan dan belakang, supir pun bersiap membawa bus malam ini menyusuri jalur pantura.
Sang kernet menggenggam handphone-nya dan menyalakan video, ia berjalan merekam setiap bangku penumpang yang terisi, dari depan hingga ke belakang.
Mungkin untuk laporan ke perusahaan, untuk mengetahui apakah tiket yang terjual sesuai dengan bangku yang terisi.
Baca juga: Ketakutan Para Malaikat
Satu Bus Bersama Malaikat Maut
Malam tak menyisakan pemandangan yang indah, hanya kegelapan dengan lampu kerlip di kejauhan.
Kami pun berangsur terlelap dalam tidur, lampu bus dimatikan. Sayup-sayup suara merdu Nike Ardilla menemani perjalanan kami malam itu.
Tak ada satu pun yang mengira bahwa lagu-lagu itu akan membawa kami mengalami peristiwa mengejutkan malam itu.
‘Klak’. Lampu bus menyala, sopir bus tengah memarkir kendaraannya di sebuah pool bus.
Saat itu, kami berada di Terminal Probolinggo. Bus akan dicek kondisinya, bahan bakar, dan juga jumlah penumpang.
Beberapa penumpang turun dari bus sekadar mampir ke toilet. Lalu…..
“Pak, Pak!” ujar Mas-Mas di belakang.
Tak berapa lama, penumpang lain dan sopir serta kernet bus pun bergabung di bangku belakang.
Mereka mengerubungi bangku si Mbah bersarung. Si Mbah tampak tidur lelap tapi dari mulutnya keluar air liur yang sedikit berbusa.
“Kenapa ini?” tanya sopir kepada Mas-Mas yang tadi. Rupanya dia anak muda yang menuntun si Mbah dan duduk di sebelahnya.
“Nggak tahu, dari awal tidur, tiba-tiba ngorok dan langsung jleb seperti itu. Saya bangunin nggak ada respon,” kata si Mas tadi dalam bahasa Jawa Timuran.
“Ini Bapak kamu?” tanya si kernet.
“Bukan, saya nggak kenal,” kata si Mas tadi lagi.
“Lho, kamu bukannya bareng si Mbah ini waktu naik?” cecar si supir.
“Iya, tapi saya baru kenal pas mau naik bus. Saya lihat si Mbah susah, jadi saya bantu. Nggak kenal sama sekali,” tambah si Mas.
“Waduh, gimana ini?” ujar si supir bingung.
Semua penumpang terdiam.
Seseorang berkata, “Coba cek dompet atau barang bawaannya. Ada identitas nggak?”
Setelah diperiksa, si Mbah tidak membawa barang apapun. Hanya sebuah dompet di sakunya.
Supir mengecek identitasnya: Malang.
Kernet memegang telepon genggam si Mbah.
Lalu, seseorang berteriak, “Coba cek teleponnya, apa ada yang dia telepon sebelumnya.”
Yang dimaksud mungkin cek riwayat panggilan teleponnya.
“Ada,” sahut kernet dan berusaha menghubungi nomor tersebut.
Tak ada yang menjawab. Maklum, saat itu tengah malam.
Dicoba beberapa kali tapi tak ada yang mengangkat.
“Bagaimana ini, Mas?” tanya kernet ke supir.
“Apa lapor polisi?” cecarnya lagi.
“Jangan, kalau lapor polisi, kita semua nggak boleh meninggalkan tempat ini,” jawab sopir dan ia pun turun dari bus.
Penumpang mulai kasak-kusuk, sebagian bertanya-tanya tentang kejadian karena ada yang baru saja terbangun karena suara ribut-ribut.
Sebagian besar membisu, membayangkan bagaimana nasib mereka, apakah bisa melanjutkan perjalanan atau tidak.
Tak berapa lama, supir naik lagi hanya untuk meminta semua penumpang turun sementara.
Aku menggendong anakku dengan cemas turun dari bus. Sementara supir memanggil kernet dan beberapa orang penumpang laki-laki dan membisikkan sesuatu. Mereka lalu naik ke bus.
Rupanya, supir dan para lelaki mencoba memindahkan jenazah si Mbah ke kantor pool bus.
Sekira 5 atau 6 orang menggotong jenazah si Mbah dengan susah payah dari bus menuju kantor. Penumpang lainnya lalu memasuki bus kembali dan tenggelam dalam keheningan.
Setelah itu, supir dan kernet naik ke bus dan menutup semua pintu. Rupanya mereka sepakat meninggalkan jasad Mbah di kantor agen bus dan mengatakan bahwa si Mbah wafat di ruang tunggu terminal bukan di bus sehingga penumpang bus bisa melanjutkan perjalanan.
Tak ada lagi suara Nike Ardilla menemani perjalanan kami berganti suara Qasidah dan puji-pujian seolah sang supir tak ingin lagi ada nyawa yang pergi dari bus yang dikendarainya.[]