PENULIS yang juga film maker Isa Alamsyah mengungkap alasan pentingnya nonton film Islami di hari pertama penayangannya.
Dalam tulisan berjudul “Menempuh Jalan Sulit dan Mahal”, Isa menjelaskan mengapa para pembuat film tetap membuat film yang berbiaya tinggi ketimbang membuat konten Youtube?
“Kenapa para film maker muslim tidak memperbanyak konten youtube saja yang murah dan bisa dinikmati gratis? Kenapa harus membuat film yang memakan biaya miliaran, sementara jaminan balik modal belum tentu?”
Pertanyaan yang saya terima pada acara pemutaran khusus film adaptasi novel Jomblo Fi Sabilillah, itu saya yakin dillontarkan tanpa maksud melemahkan semangat.
Ada benarnya juga. Seorang produser dari rumah produksi yang sudah berpengalaman, bercerita bahwa dia memutuskan berhenti membuat film karena terlalu banyak faktor yang tidak bisa dikendalikan.
Terlalu banyak resiko.
Berpikir positif, pertanyaan muslimah terpelajar tersebut mungkin juga lahir karena perasaan iba kepada teman-teman yang berjuang di ranah yang lebih sering tidak menguntungkan.
Kemungkinan film religi diminati di tengah antusias masyarakat terhadap film luar atau genre horor yang memiliki penonton fanatik- memang sulit diprediksi.
Pendapat tersebut mungkin juga selaras dengan opini beberapa tokoh yang merasa dakwah di bioskop tidak penting sehingga tidak merasa perlu memberikan dukungan penuh, walaupun film yang dibuat berlimpah semangat kebaikan.
Film Maker Ungkap Alasan Pentingnya Nonton Film Islami di Hari Pertama
Padahal pengaruh media audio visual luar biasa, juga kerusakan yang ditimbulkan ketika tayangan yang harusnya menjadi hiburan kemudian dititipi muatan-muatan yang tidak sesuai akidah dan menyimpang dari fitrah. Kerusakan ini telah berlangsung lama dan terus terjadi.
Di luar komentar si muslimah, saya bersyukur mulai banyak ulama memahami pentingnya mewarnai bioskop dengan tayangan yang menuntun dan tanpa mudharat.
Khususnya ketika kita tidak bisa menjaga konten youtube maupun OTT saat ini dari rembesan tayangan luar yang bablas moral.
Alhamdulillah walau belum semua- muncul tokoh pesantren, pemuka agama, politisi muslim yang mendukung film islami.
Ya, kami tidak sendiri berjalan di tanah terjal ini. Walau memang masih perlu waktu mengkondisikan agar kalangan luas bergerak mensupport film baik.
Untuk benar-benar membangun solidaritas umat mayoritas di negeri ini agar mendahulukan menonton film-film baik hingga bertahan lama di bioskop.
Itulah sebabnya, saya merasa perlu membuat tulisan ini sebagai ruang diskusi. Semoga menjawab pertanyaan kenapa harus berdakwah lewat layar lebar, dan bukan youtube atau melalui media sosial.
Alasan film-film inspiratif di bioskop harus didukung, pertama sebab dakwah melalui bioskop merupakan dakwah mahal dan sulit.
Sebuah film rata-rata menguras kocek tiga miliar rupiah, bahkan bisa lebih. Belum biaya promosi yang oleh rumah produksi ternama bisa mencapai tiga bahkan lima kali biaya pembuatan filmnya.
Kebanyakan produser muslim tidak memiliki cadangan dana atau mendapat peluang barter, hingga trailer film mereka bahkan sulit diiklankan di televisi.
Tantangan kembalinya modal yang terasa besar bagi pembuat film dari PH kecil, masih ditambah tidak ada batasan minimal berapa hari film tersebut akan ditayangkan di bioskop.
Bukan satu dua film yang diproduksi dengan dana rendah, dinilai belum memadai untuk mendapat banyak layar. Biasanya mereka hanya diberi kesempatan menampilkan film pada dua bioskop di Jakarta.
Mereka yang mendapat layar lebih, mengalami pukulan telak ketika film tayang kurang dari tiga hari. Bahkan tidak sedikit yang sehari tayang, hari kedua sudah dicopot dari jadwal.
Salah satunya karena masyarakat menunda dan tidak bersegera menonton film baik di hari pertama rilis. Tentu saja alasan masyarakat menunda bisa maklumi.
Kecuali akhir pekan, kebanyakan orang tua harus bekerja, sementara anak-anak masih sekolah. Lantas siapa yang mau kamis ke bioskop kecuali dengan spirit tertentu?
Jika begitu apa saja akibat penundaan ini bagi film baik yang sedang tayang?
Biasanya judul baru film Indonesia muncul setiap Kamis. Jika di hari pertama animo penontonnya sedikit, bisa jadi sebelum akhir pekan, film langsung diturunkan.
Artinya, maksud hati menonton pada Sabtu atau Ahad ternyata sejak Jumat sudah tidak lagi main di bioskop.
Padahal akhir pekan adalah momen yang ditunggu dengan harap-harap cemas oleh produser- sebab potensial bagi mendulang penonton.
Film-film yang hanya bertahan satu dua hari, sebab miskin yang menonton, bisa ditebak mustahil balik modal. Bagaimana pula keterampilan penggiat film baik ini akan terasah?
Kepedulian dan dukungan masyarakat untuk ramai-ramai menonton film baik, pada hari pertama rilis akan menjadi solusi.
Kenyataannya walau para film maker muslim terus mensosialisasikan hal ini, tetap saja sulit memancing penonton di hari pertama tayang di bioskop.
Jika sudah tahu perjuangan di perfilman sulit, kenapa tetap dilakukan? Atau seperti pertanyaan si muslimah, kenapa tidak membuat konten untuk youtube dan televisi?
Dakwah via bioskop sangat efektif menyentuh kalangan umum yang tidak rajin ke masjid, tidak terjangkau ceramah atau forum-forum pengajian.
Jika berhasil, sangat menggerakkan secara ekonomi dan memberi kekuatan lebih besar untuk mendanai proyek-proyek kebaikan dan kemanusiaan.
Ketika film Hayya 1 tayang di bioskop empat tahun lalu, Amman Palestin, NGO yang bergerak untuk Palestina, mengatakan,
“Film Hayya hanya butuh beberapa jam saja untuk mencapai apa yang kita lakukan bertahun-tahun untuk mengingatkan masyarakat akan perjuangan rakyat Palestina yang terus berlangsung.”
Tidak hanya sukses mengingatkan masyarakat tentang isu kemanusiaan di Palestina, film Hayya 1 sukses meraup 720 ribu penonton, dan pada akhirnya jajaran produser bisa menyisihkan sedekah senilai Rp2,7 miliar untuk Palestina dan anak-anak yang membutuhkan di Indonesia Timur.
Efektivitas seperti ini sulit dicapai melalui pendekatan lain. Belum lagi film merupakan media andal tidak hanya untuk menyebarkan kebaikan melainkan juga untuk mempropagandakan hal-hal yang menyimpang, baik dalam tayangan seri televisi, apalagi OTT juga layar lebar.
Penonton bioskop tidak memiliki pilihan kecuali para produser film baik berjibaku, mengambil resiko untuk memberikan warna berbeda di layar bioskop.
Sebuah ikhtiar yang diambil Warna Pictures melalui film Jomblo Fi Sabilillah yang akan tayang Kamis, 14 September di bioskop.
Ketika banyak film mengulik kisah cinta sebagai sesuatu yang didewa-dewakan, seolah pacar adalah prioritas pertama, film ini justru mengangkat nasihat lain.
“Bahagiakan dulu Mamak kau, baru kau bahagiakan anak gadis orang,” ungkap salah satu karakternya.
Ketika sebagian anak muda tak berminat menyentuh buku, Yusuf, yang diperankan Ricky Harun justru ke mana-mana sibuk merekomendasikan judul-judul yang menurutnya dibutuhkan rekan-rekan Jomblo fi Sabilillah.
Saat banyak anak muda kehilangan semangat menyelesaikan kuliah, salah satu karakter di film ini bertekad membahagiakan ibunya dengan segera menyelasaikan kuliah.
Sementara fenomena maraknya cinta ditolak, putus, atau gagal menikah lalu putus asa dan berbuat nekad, di film ini justru hadir karakter yang bertahan bahkan menjadi penasihat bagi para pemuda yang belum menikah itu, saking banyaknya reputasi putus ketika pacaran, ditolak saat taaruf, bahkan berkali-kali menderita pembatalan saat pernikahan sudah di depan mata.
Karakter Annisa yang dimainkan Nabilah Ayu mewakili keresahan para pemudi kita yang sudah pacaran bertahun-tahun tapi tak menemukan kejelasan kapan akad nikah dilangsungkan?
Tapi film ini bukan hanya untuk para jomblo, sebab isu KDRT, perceraian termasuk trauma yang walau tak disengaja digoreskan kedua orang tua pada ananda, dan ternyata abadi- turut ditampilkan dengan menyentuh.
Memproduksi film hanya sebuah langkah kecil namun harus ada yang berjuang di shaf dakwah ini agar masyarakat memiliki pilihan.
Jika film religi atau film nasional dengan muatan baik sukses meraih penonton, insya allah akan semakin banyak rumah produksi menghadirkan film keren dengam nilai kebaikan yang tampil indah dan kuat.
Mungkin tergerak keinginan yang sama, mulai ada satu dua komunitas berinisiatif menggelar nobar, atau
pengusaha muslim melakukan sedekah tiket agar dhuafa dan yatim bisa terhibur sekaligus mendapat semangat kebaikannya-sebagai upaya lain mendukung film baik.
Jika film seperti ini menjelma tren- maka tercapailah keinginan para pejuang yang menempuh salah satu jalan mahal dan sulit ini.
Bioskop menjelma tempat di mana penontonnya mendapatkan hiburan sekaligus pencerahan. Ketika sesuatu yang hangat tertinggal di hati meski layar telah gelap dan film telah lama selesai.
Film Jomblo fi Sabilillah sedang tayang di bioskop. Jangan tunda menonton karena layar menipis.
Semoga berkenan mendukung film baik yang mengusung inspirasi kebaikan. Insya allah menghibur.
Komedi, romance, tapi juga banyak membuat bunda-bunda menangis karena cerita didukung akting yang menyentuh.
Jangan buang tiketnya karena ada lomba review berhadiah cash, terakhir tanggal 18 Sept. More info cek iG @jomfisthemovie ya. Selamat menonton.[ind]