IMAM Besar Masjid Istiqlal, Prof. Dr. K.H. Nasarudin Umar, M.A. pernah menyampaikan khutbah Jumat tentang masa depan umat. Ada beberapa tantangan masa depan umat yang perlu dicermati dan disikapi dengan baik.
Baca Juga: Khutbah Jumat tentang Shalat Membentuk Karakter Pribadi Muslim
Khutbah Jumat dari Imam Besar Masjid Istiqlal tentang Tantangan Masa Depan Umat
Jika tidak maka itu semua akan meningkat menjadi masalah yang amat mengancam kelangsungan masa depan umat. Tantangan-tantangan yang disampaikan oleh Imam Besar Masjid Istiqlal adalah sebagai berikut
1. Radikal-Ekslusif
Imam Besar Masjid Istiqlal, Nasarudin Umar menjelaskan bahwa radikalisme setingkat di bawah terorisme dan sudah jelas menodai keluhuran ajaran Islam. Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia, radikalisme diartikan sebagai paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis.
Kelompok radikal selalu berusaha untuk mengganti tatanan nilai yang hidup di dalam masyarakat dengan tatanan nilai baru sesuai dengan apa yang diyakininya sebagai tatanan nilai paling benar.
Kaum radikal bukan hanya bersumber dari latar belakang agama tetapi juga dari latar belakang lain, seprti kelompok separatisme yang berusaha untuk memisahkan diri dengan suatu negara yang sah dengan cara melakukan kekerasan dan berbagai ancaman.
Radikalisme politik bisa juga terjadi jika mereka merasa kecewa dengan garis politik yang dilakukan oleh para penguasa yang dinilai tidak adil atau melakukan peraktek kecurangan.
Radikalisme politik bisa berlindung di bawah panji-panji demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) kemudian melakukan pendhaliman terhadap kelompok lain yang dinilai tidak sejalan dengan mazhab politiknya.
Radikalisme pasar bebas yang mendukung secara berlebihan terhadap system pasar bebas yang memberi peluang lebih besar kepada sekolompok masyarakat untuk mengakses mangsa pasar, sementara kelompok masyarakat mayoritas hanya bisa berebutan di sector informal yang semakin mengecil.
Akibatnya, mereka yang tidak memiliki kekuatan dan daya saing terlempar ke pinggiran menunggu saat-saat kehancurannya.
Apa pun bentuknya, radikalisme bukan saja tidak sesuai dengan falsafah bangsa Indonesia, Pancasila, tetapi juga tidak ada tempatnya di dalam ajaran Islam.
Dalam Islam tidak dibenarkan seseorang mengahalalkan segala cara di dalam mencapai tujuan. Sebagus apa pun sebuah tujuan tidak boleh menggunakan kekerasan. Kekerasan, untuk tujuan apapun, kepada siapa pun, dan dari mana pun tidak ada tempatnya dalam Islam, sebagaimana diingatkan dalam ayat:
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ
Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).” (QS. al-Baqarah/2: 256).
Dan dalam ayat lain ditegaskan:
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-Baqarah/2: 195).
2. Liberal-Individual
Kemudian, Imam Besar Masjid Istiqlal menjelaskan bahwa liberalisme adalah suatu paham yang berusaha untuk memilih kebebasan berprilaku (try to keep a liberal attitude) dengan menonjolkan sikap fair-minded, open-minded dan toleransi.
Begitu besar toleransinya sehingga kebatilan dan kekufuran pun ditoleransi. Liberalisme dalam pengertian popular ialah suatu paham mengedepankan kebebasan dan acuannya hanya kepada dasar-dasar Hak Asasi Manusia (HAM) dan HAM pun dibatasi pada himanitarianisme atau dalam bahasa filsafat disebut antropocentrisme.
Antroposntrisme ialah paham serba manusia. Yang bisa memanusiakan manusia ialah manusia itu sendiri. Manusia dalam faham ini seolah-olah tidak membutuhkan “kekuatan luar” di luar diri manusia seperti Tuhan, Dewa, agama untuk memanusiakan diri manusia.
Kebalikan dari faham ini ialah teosentrisme, yaitu suatu paham yang serba Tuhan atau fatalisme.
Paham liberalisme sangat membahayakan kehidupan beragama dan berbangsa. Islam yang mengenal Tuhan sebagai sumber nilai-nilai kebenaran paling tinggi dan bangsa Indonesia yang menganut faham dan ideologi Pancasila, tentu tidak sejalan dengan paham liberalisme di atas.
Kewajiban manusia untuk menyembah Tuhan dan keharusan warga Negara Indonsia menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya dan agama seharusnya liberalisme sulit tumbuh subur di bumi Indonesia.
Namun demikian, liberalisme memiliki banyak “topeng” yang bisa mengecoh setiap orang. Setiapkali pertimbangan rasio harus di kedepankan dan memaksa kelompok-kelompok sistem nilai lain untuk menyesuaikan diri maka sesungguhnya ini merupakan perwujudan liberalisme.
Liberalisme bisa meminjam bahasa agama, bahasa budaya, atau bahasa politik di dalam menjabarkan nilai-nilainya. Liberalisme bisa bersembunyi di belakang HAM, kesetaraan jender, demokrasi, local wisdom, Tafsir, dan Ushul Fikih.
Bahkan lebih rigis bisa menggunakan istilah teknis agama seperti konsep al-maqashid al-syari’ah dan al-mashlahat al-‘ammah.
Paham liberalisme beririsan dengan sekularisme, sebuah faham faham atau kepercayaan yang berpendirian bahwa paham agama tidak dimasukkan dalam urusan politik, negara, atau institusi publik.
Agama dianggap urusan privat sehingga tidak pelru dilibatkan di dalam ruang publik.
Bagi masyarakat bangsa Indonesia, khususnya umat Islam, memberi ruang khusus kepada pemerintah atau negara mengatur urusan-urusan pemerintahan dan kenegaraan, tetapi tidak berarti para ulama dan pemimpin agama lainnya tidak boleh berbicara tentang urusan politik dan masyarakat.
Dalam berbagai ayat di dalam Al-Qur’an dijelaskan betapa tidak relevannya memperhadap-hadapkan antara urusan negara dan agama. Ajaran Islam bersifat komperhensif tidak bisa dipilah-pilah, sebagaimana dijelaskan dalam ayat:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱدۡخُلُواْ فِي ٱلسِّلۡمِ كَآفَّةٗ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya,…” (QS. al-Baqarah/2: 208)
Dalam ayat lain ditegaskan:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya: “Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. al-Jâtsiyah/45: 18)
Paham liberalisme juga beririsan dengan paham Individualisme adalah sebuah faham yang menghendaki kebebasan berbuat dan menganut suatu kepercayaan bagi setiap orang (individual freedom).
Paham ini lebih mementingkan hak perseorangan daripada kepentingan masyarakat atau negara.
Orang yang berpandangan hidup individualisme selalu atau seringkali mengedepankan kepentingan pribadi di atas atau di tengah kehidupan masyarakat.
Ia seringkali menentang intervensi dan pengaruh masyarakat, negara, badan, atau kelompok atas pilihan pribadinya. Paham ini selalu berhadapan dengan atau melawan segala pendapat yang menempatkan tujuan suatu kelompok lebih penting dari tujuan seseorang individu. Ia menentang faham holisme, kolektivisme, dan statisme.
Paham individualisme juga tidak senang atau kurang nyaman dengan segala standar moral yang otoritatif seperti ajaran agama yang menghalangi kebebasan seseorang. Sementara Islam menyerukan semangat kolektifisme, sebagaimana ditegaskan dalam ayat:
وَلَا تَكُونُواْ كَٱلَّذِينَ تَفَرَّقُواْ وَٱخۡتَلَفُواْ مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَهُمُ ٱلۡبَيِّنَٰتُۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ لَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيمٞ
Artinya: “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (Q.S. Ali ‘Imran/3: 105)
Dalam ayat lain juga dinyatakan:
قُلۡ يَٰٓأَهۡلَ ٱلۡكِتَٰبِ تَعَالَوۡاْ إِلَىٰ كَلِمَةٖ سَوَآءِۢ بَيۡنَنَا وَبَيۡنَكُمۡ
Artinya: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kalian.” (Q.S. Ali ‘Imran/3: 64).
3. Fragmatisme-Hedonisme
Pragmatisme adalah sebuah aliran filsafat yang beranggapan bahwa nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan kewajaran kebenaran di dalam hidup ialah seberapa besar sesuatu itu memberi manfaat dan kegunaan di dalam diri, keluarga, atau kelompok. Standar nilai menjadi sangat subyektif.
Nilai-nilai dasar universal dan fundamental, seperti yang ditemukan di dalam agama menjadi terpinggirkan, karena segalanya diukur berdasarkan kepentingan subyektif.
Sadar atau tidak, ada kecenderungan kuat di dalam masyarakat kita mulai terkontaminasi pandangan hidup seperti ini.
Asas kegunaan dan manfaat dalam kehidupan praktis ini seolah mengubah pandangan hidup di dalam masyarakat, sehingga para tokoh agama dan para ilmuan merasa terpaksa harus mengevaluasi dan mereinterpretasi pemahaman dalil-dalil agama yang selama ini dipegang di dalam masyarakat.
Bukan hanya terhadap nilai-nilai budaya yang orofan, tetapi nilai-nilai agama yang sakral pun ikut tergerus dengan arus perkembangan paham pragmatism ini. Paham ini seolah menjadi sebuah agama baru di dalam masyarakat.
Apa jadinya masyarakat bangsa dan umat beragama, khususnya umat Islam, jika pandangan hidup pragmatism ini terus menggejala di dalam masyarakat? Bagaimana kita sebagai umat dan warga bangsa harus bersikap dan apa yang harus dilakukkan guna mengantisipasi fenomena social umat menggelobal sedemikian pesat ini?
Padahal, jika kita mau mendengarkan bisikan hati kecil orang tua yang sudah jompo, tentu salah satu jeritannya ialah yang kami butuhkan bukan hanya perawatan tetapi kami juga butuh untuk mencintai anak dan para cucu. Hidup terasing di dalam “sangkar emas” merupakan penderitaan tersendiri bagi siapapun.
Demikian pula anak-anak disable, yang dibutuhkan bukan hanya pengurusan dan pelayanan dari suster tetap mereka juga mendambakan kehangatan pelukan orang tua kandungnya. Mereka ingin bercanda dengan saudara-saudaranya seperti anak-anak lain. Bukan untuk diisolasi dan digabungkan dengan para anak-anak cacat lain.
Faham pragmatism betul-betul sangat kejam. Orang tua yang pernah dengan susah payah melahirkan, merawat, menyekolahkan, dan terus mendoakan anak-anaknya, setelah mereka berhasil dan dirinya sudah jompo, terpaksa harus “diusir” secara halus oleh anak-anaknya. Nanti hari-hari minggu, sisa-sisa waktu di long weekend baru sesekali ditengok.
Itu pun sekejap karena keterbatasan ruang tamu di rumah jompo. Sang anak disable seolah tidak lagi mengenal orang tuanya. Mereka lebih rindu kepada susternya ketimbang orang tuanya sendiri. Orang tua dan anaknya saja diperlakukan seperti itu, apalagi orang lain?
Bukankah Al-Qur’an telah mengingatkan kita: فَأَيۡنَ تَذۡهَبُونَ (Maka kalian mau ke mana? (QS. al-Takwir/81: 26). Al-Qur’an juga mengingatkan kita:
وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيۡرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقۡوَىٰۖ
Artinya: “… (Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. al-Baqarah/2: 197).
Sahabat Muslim, semoga khutbah Jumat dari Imam Besar Masjid ini menjadi pengingat untuk kita agar bersiap dalam menghadapi tantangan yang ada. [Cms]
Sumber: istiqlal.or.id