AQIDAH tauhid seorang Buya Hamka ditulis oleh Ustaz Adriano Rusfi. Bahkan dua kata ini telah terucap di awal film itu: bagaimana menegakkan aqidah-tauhid di tengah-tengah umat.
Wajar, karena inilah saripati dari seluruh ikhtiar dakwah Beliau. Kalimat ini beberapa kali terucap di sepanjang tayangan yang indah dan berbobot ini.
Beliau banyak menarik nafas saat mengucapkannya. Terasa begitu berat dan dalam. Di matanya terpancar begitu banyaknya duri-duri yang kelak perih menghadang…
Terima kasih Vino G Bastian, Anda mengekspresikannya dengan baik.
Aqidah-Tauhid… Kenapa bukan akhlaqul karimah yang sering disebut-sebut dalam ajakan-ajakan dan kurikulum pendidikan?
Kenapa bukan syari’ah, yang sekarang populer dengan istilah syar’i: sembelihan syar’i, jilbab syar’i, pergaulan syar’i? Atau, kenapa bukan Qur’ani, lewat tahfiizhul Qur’an?…
Tentunya hanya Buya HAMKA yang bisa menjawabnya. Tapi seorang salafush shalih memang pernah berujar: “Sebelum tuntas pendidikan aqidah-tauhid, pendidikan agama lainnya menjadi sia-sia.”
Tentu ketiganya adalah satu kesatuan… Tapi segalanya ada mulanya. Menanam pohon bermula dari akar. Membangun rumah bermula dari pondasi.
Tanpa akar, sebenarnya tak ada yang bisa tegak kokoh di atasnya:
“Dan perumpamaan kalimat yang buruk itu bagai pohon yang buruk. Akarnya tercerabut dari muka bumi, dan tak bisa berdiri kokoh sedikitpun…” (Q.S. Ibrahim: 26)
Mungkin itu yang membuat Buya HAMKA tampak begitu kokok pijakan kakinya. Bahkan dalam kelembutan dan keromantisannya, terlihat sikap kokohnya.
Ummi Siti Raham sempat mengodanya sebagai “Angku Genit”, lalu ia mengoda balik sang kekasih. Begitu lembut, begitu romantis, begitu puitis…
Tapi setiap katanya bertekanan, setiap intonasinya indoktrinatif, bahkan tatapan dan senyumnya berisi. Ku teringat ceramah-ceramah Beliau tahun 70-an di Mimbar Jumat TVRI: datar tapi menghunjam.
Baca juga: Review Film Buya Hamka Volume 1, Mengenal Lebih Jauh Sosok Ulama yang Senang Menulis Roman
Aqidah Tauhid Buya Hamka
Berat dan konfrontatif, itulah ciri aqidah-tauhid. Buya menyadari ini. Ia selalu tarik nafas panjang sambil melihat ke bawah, kala terbayang permusuhan yang akan ia hadapi…
Ya, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tak pernah dimusuhi karena akhlaqnya. Kawan dan lawan respek padanya. Tapi Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dimusuhi karena aqidah-tauhidnya.
Karena aqidah bicara tentang haq versus bathil, benar versus salah, hitam versus putih, kawan versus lawan, Mu’min versus kafir, dan Allah versus thaghut…
Beruntunglah, Buya HAMKA memiliki istri bagai Khadijah Al-Kubra radhiyallahu anhu yang selalu menguatkan hatinya, menguatkan kakinya.
Maka Buya HAMKA tak melakukan ritus Seikerei : membungkukkan badan kepada Dewa Matahari, Dewa Jepang. Sang Gubernur Jepang murka padanya:
“Ini bukan ritual. Ini cuma tradisi”… Buya bergeming, tak akan dia menundukkan badan pada manusia sekalipun. Sudah lama prinsip itu ia pegang,
saat Beliau ditekan oleh para Belanda untuk mempublikasi berita-berita baik tentang upaya penjajah. Mesin ketiknya dirampas, lalu ia keluarkan yang baru. Aqidah tak kenal kompromi!!!
Maka Buya “membungkus” kerasnya aqidah-tauhid kedalam romansa, lewat sastra, lewat pepatah… Beliau tak sedang menulis roman picisan.
Beliau sedang bercerita tentang cinta, karena muara dari aqidah-tauhid yang furqani itu adalah cinta:
mahabbatullah – tentang cinta yang tak ingin diduakan, tentang cinta yang bertaut dengan cemburu, ketika Allah cemburu diduakan dengan yang selain-Nya…
Cinta yang melahirkan ghirah, cemburu… ketika kekasih dihina, ketika kekasih dilecehkan…
Wajar jika ada yang khas pada Buya: integritasnya… Integritas kepribadiannya, integritas keislamannya. Karena makna tauhid adalah integritas: menyatu, tak terpecah.
Segalanya bermula dari hati, dari ruh, dari yakin. Alhasil, tatapan matanya punya ruh… Getar suaranya punya ruh… Tulisannya punya ruh…
Bahkan gebrakan tangannya di atas meja rapat juga punya ruh… HAMKA adalah HAMKA dalam seluruh kiprahnya, karena seluruh kiprahnya bermula dari imannya. Sisanya hanyalah ekspresi-ekspresi iman.
Dan aqidah-tauhid tak mungkin hanya berakhir di hati. Karena dia harus membuncah dan meluap… Meluap ke mulut lahirkan ucapan…
Meluap ke tangan hadirkan perbuatan… Maka hati Buya HAMKA mewujudkan sosok seorang sufi. Hati Sang Sufi ini memancar ke lisan hasilkan ucapan seorang da’i dan tulisan seorang sastrawan.
Akhirnya iman aqidah-tauhid menggerakkan kaki melahirkan kiprah seorang aktivis… Tak mungkin Buya HAMKA hanya menjadi salah satunya, karena beliau adalah produk iman.[ind]