KESALAHAN bisa terjadi pada siapa saja. Tapi menyalahkan orang lain boleh jadi itu sebuah kezaliman.
Ada sifat buruk yang kadang tanpa sadar hinggap dalam diri seseorang. Yaitu, menjadikan orang lain sebagai penyebab kegagalan atau sejenisnya.
Menyalahkan orang lain itu berbeda dengan menunjukkan bahwa orang lain telah melakukan kesalahan. Di mana bedanya?
Menunjukkan kesalahan orang lain yaitu menerangkan secara objektif dan beralasan bahwa ada kesalahan yang dilakukan seseorang. Tentu dengan cara yang bijaksana.
Tapi menyalahkan orang lain menjadikan orang lain seperti ‘kambing hitam’. Dan biasanya tidak ada bukti atau objektivitas yang bisa diterima.
“Gara-gara kamu sih, kita jadi gagal semua,” begitu kira-kira pernyataan yang mengiringi sifat buruk ini.
Yang dituduh melakukan kesalahan sama sekali tidak diberikan ruang untuk berargumentasi. Ia hanya ditunjuk sebagai pelaku kesalahan.
Apakah hal ini akan menyelesaikan masalah? Sama sekali tidak. Alih-alih yang dituduh melakukan kesalahan bisa introspeksi, justru yang muncul hanya dendam dan kesenjangan persahabatan.
Lebih repot lagi jika sifat ini terjangkit pada diri orang tua terhadap anak-anaknya. Dampaknya, anak-anak bukan hanya tidak mampu berpikir kritis, tapi juga menyuburkan sifat minder pada mereka.
Dengan kata lain, sifat menyalahkan orang lain ini biasanya terjangkit pada orang yang lebih ‘atas’. Mungkin sebagai senior, pimpinan, orang tua terhadap anak, atau kakak terhadap adik.
Walaupun, sifat ini juga bisa terjadi pada siapa saja dan terhadap siapa saja. Mungkin dari teman ke teman, seseorang terhadap tetangganya, dan lainnya.
Islam mengajarkan bahwa segala hal buruk yang terjadi, harus dijadikan muhasabah diri: apa yang salah dengan diri kita. Terlebih sebagai pimpinan, kakak terhadap adik, atau orang tua terhadap anak-anak.
Kalau memang kesalahan itu dilakukan orang ‘di bawah’ kita, tunjukkan secara bijaksana kepada pelaku kenapa kesalahan itu terjadi.
Misalnya, karena si adik lupa mengunci pintu, maling masuk rumah. Tunjukkan artinya menyadarkan, bukan menjadikan semua beban mental kerugian kepada si adik. Karena hal baik dan buruk sudah ditakdirkan Allah subhanahu wata’ala.
Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Hai orang-orang beriman, jauhilah banyak dari prasangka. Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain…” (QS. Al-Hujurat: 12)
Jadi, ketika kita datang telat, akui itu kesalahan diri sendiri. Jangan salahkan angkot, ojek, jalan yang macet, hujan, dan kucing yang lewat mendadak.
Umar bin Khaththab pernah menyampaikan, “Hisablah (periksa) dirimu, sebelum kamu dihisab.” [Mh]