MERAIH cita-cita itu seperti perjalanan mendaki puncak gunung. Panas, hujan, angin menjadi satu paket. Paket yang bisa melunturkan tekad untuk tetap di jalan pendakian.
Mereka yang cerdas selalu menyimpan rahasia tentang cita-cita. Inilah energi yang menjadikan fisik dan batin kita tetap tegar menjalani apa pun yang disajikan hidup ini.
Kalau ditanya, cita-citanya apa? Orang pun akan bertanya lagi setelah dapat jawaban apa cita-citanya. Memangnya kamu sanggup? Realitislah!
Itulah umumnya lingkungan kita. Alih-alih menyatakan siap membantu, menilai cita-cita pun dengan pandangan meremehkan.
Kenapa? Karena umumnya kita terbiasa untuk berpuas diri dalam dunia ‘bawah’. Kakek masyarakat biasa, ayah pun begitu, dan kita mestinya juga akan seperti itu. Itu kata mereka.
Kedua, umumnya kita pula tak pernah mencoba, bahkan membayangkan pun juga tidak; untuk berada di atas ‘ketinggian’ sana: menjadi presiden, mentri, profesor, pengusaha sukses, ulama besar, dan lainnya.
Dan, jangan anggap jika perjalanan meraih cita-cita itu mudah. Karena kita hidup di dunia, yang dalam keadaan diam pun diuji. Apalagi jika berjalan mendaki menuju cita-cita. Tentu akan lebih diuji lagi.
Berbagai hal tidak mengenakan akan kita rasakan. Mulai dari lelah, sakit, luka fisik dan batin, hingga rasa takut yang luar biasa. Dan semakin jauh mendaki, hal yang berat itu kian tambah berat.
Namun, ada satu rahasia yang hanya mereka yang sedang mendaki yang bisa merasakan. Yaitu, pemandangan paling indah di semua perjalanan adalah pemandangan saat mendaki.
Kenapa? Karena semakin jauh kita mendaki, semakin tinggi keberadaan kita. Saat itulah, semua seolah berada di bawah kita. Kita pun disajikan pemandangan yang utuh tentang keseluruhan panorama. Apa adanya.
Dan akhirnya, semua letih, sakit, takut, dan hal yang tidak mengenakkan itu akan terbayar tunai saat kita tiba di puncak cita-cita.
Namun, ada perbedaan antara mendaki untuk meraih cita-cita dengan mencapai puncak gunung. Kalau hanya untuk tiba di puncak gunung, kita pun tak ingin berlama-lama. Kita akan segera turun lagi.
Jika berada di puncak cita-cita, kita tak akan pernah untuk berpikir turun. Seolah, di situlah hidup kita untuk selanjutnya.
Padahal, berada di puncak cita-cita atau masih tetap di bawah; bukan akhir perjalanan hidup. Masih ada hidup lain yang harus ditapaki.
Menariknya, hidup lain itulah yang justru harus menjadi puncak cita-cita dari semua cita-cita yang ada di dunia ini.
Silahkan bergigih diri dan hati untuk meraih cita-cita hidup ini. Tapi pahami bahwa ada cita-cita lain yang lebih tinggi yang jauh lebih harus juga diraih. Itulah kehidupan akhirat yang bahagia. [Mh]