HATI yang jernih itu seperti cermin. Ia bisa memantulkan keadaan diri apa adanya. Yang baik tidak menjadi buruk dan yang buruk tidak menjadi baik.
Suatu kali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan nasihat kepada seorang sahabat bernama Wabishah bin Ma’bad radhiyallahu ‘anhu.
“Wahai Wabishah, mintalah fatwa kepada hatimu (Nabi mengucapkan kalimat itu tiga kali). Karena kebaikan itu yang membuat tenang jiwa dan hatimu. Sementara dosa itu yang membuat bimbang dan goncang hatimu….” (HR. Ahmad)
Tidak semua urusan bisa terjawab dengan uraian, analisis, bahkan fatwa sekali pun. Tentang jodoh misalnya. Ketika ada dua pilihan, maka hatilah yang lebih mantap menjawabnya.
Begitu pun dalam urusan yang lain seperti pilihan pekerjaan, jabatan, pendidikan, dan masih banyak lainnya.
Namun begitu, isi fatwa di sini bukan pada hal yang sudah jelas dalilnya. Misalnya tentang halal haram, wajib dan tidak. Hanya pada urusan yang subhat atau masih samar.
Jadi bukan pada hal misalnya pakai jilbab atau tidak, shalat atau tidak, berbuat baik pada orang tua atau tidak, dan lainnya.
Syarat kedua untuk bisa minta fatwa pada hati adalah keadaan hati yang jernih. Bukan hati yang kotor, tapi hati yang gemar berzikir dan taqarrub pada Allah subhanahu wata’ala.
Sahabat Nabi yang bernama Wabishah merupakan sosok yang gemar beribadah, wara’, cinta kebaikan, dan selalu dekat dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
Di akhir zaman seperti saat ini, begitu banyak hal samar terjadi. Berbagai manipulasi bisa mengolah yang baik menjadi buruk dan sebaliknya.
Kecanggihan media audio visual bisa membuat berbagai kemasan pencitraan. Sesuatu atau seseorang terlihat begitu baik, dan begitulah banyak orang meyakininya. Tapi kenyataannya sangat buruk.
Saat itulah kita bisa menanyakan seperti apa fatwa dari hati kita. Dan hati akan menjawab keraguan dan keengganan jika itu buruk, sementara jika baik ia akan membuat kita bersemangat. [Mh]